TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Emil Salim menilai, pemerintah tidak kompak terkait Rancangan Undang-Undang tentang Pertembakauan. Hal itu terlihat menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015-2020.
Menurut Emil, peta jalan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Baca: Soal RUU Pertembakauan, Komnas Minta Jokowi Menahan Diri
"Yang menetapkan prevalensi perokok usia muda khusus 18 tahun ke bawah harus turun per tahun, yakni dari 7,2 persen pada 2015 menjadi 5,4 persen pada 2020," kata Emil dalam wawancara bersama Tempo di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa, 17 Januari 2017.
Emil berujar, dalam peta jalan Menteri Perindustrian tersebut, rokok dengan kategori sigaret kretek mesin (SKM) membidik usia muda. Porsinya, kata dia, sebesar 60 persen dari jumlah produksi. "Saat kami bertemu Menteri Perindustrian, beliau tidak tahu tentang RPJMN Jokowi itu. Jadi, yang tampak, pemerintah tidak kompak," tuturnya.
Dalam hal perizinan investasi, menurut Emil, Badan Koordinasi Penanaman Modal telah memberikan izin bagi pemilik Sampoerna, Philip Morris, untuk memasukkan modalnya sebesar US$ 1 miliar tahun ini. "Menjelang 2019, investasi gencar. Mengapa? Karena ada pemilu. Soal rokok adalah soal uang," katanya.
Selain itu, Emil mengungkapkan, terdapat pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditampung oleh industri rokok setelah pensiun.
Ketua I Komnas PT Widyastuti Soerojo menambahkan, pejabat tersebut adalah mantan Direktur Jenderal. Usai pensiun, pejabat itu diangkat oleh Sampoerna untuk masuk dalam jajaran komisaris.
Seharusnya, menurut Tuti, tatif cukai hasil tembakau naik pada 2014. Namun, cukai tidak naik saat itu. Ketika itu, industri dikenakan pajak rokok daerah sehingga kenaikan cukai akan menyebabkan double taxation. Emil berujar, pemerintah bisa mengenakan cukai yang tinggi jika mau. "Kenapa pemerintah tidak mau? That's the power of money."
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Baca juga:
Kasus Palu Arit, Polda Metro Periksa Rizieq Pekan Depan
Bentrok FPI dan GMBI di Bandung, Begini Sikap Kompolnas