TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menegaskan, Polri tetap akan menggunakan pasal penistaan agama untuk menjerat mereka yang dilaporkan melakukan penodaan agama. Ia mengatakan polisi adalah penegak hukum.
"Kalau hukum mengenai penodaan agama ini masih ada dan diakui sebagai hukum positif negara, itu akan menjadi bagian yang tidak lepas dari proses hukum ketika adanya laporan atau Polri menemukan sesuatu yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketenteraman," ucapnya di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Selasa, 17 Januari 2017.
Baca: Pasal Penistaan Agama Dianggap Sudah Tidak Relevan
Sebelumnya, sekelompok antropolog dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa pasal dan undang-undang yang mengatur tentang penistaan agama lebih banyak disalahgunakan. Pernyataan itu disampaikan setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Senin kemarin. Misalnya, ujar mereka, dari perspektif antropologi, pasal ini sangat relatif dan bisa berbahaya ketika dipolitisasi.
Belakangan ini, banyak kasus yang dilaporkan masyarakat yang menggunakan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yang paling menyita perhatian publik adalah kasus dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebanyak 13 orang melaporkan Ahok dengan pasal itu. Setelah itu, muncul laporan-laporan baru dugaan penodaan agama, misalnya terhadap pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Shihab.
Boy menuturkan penyidik bisa memproses kasus dugaan penodaan agama sesuai dengan aturan hukum. "Sepanjang hukumnya masih ada, sebagai penegak hukum, Polri akan merujuk itu sebagai hukum yang harus ditegakkan," ucapnya.
Kecuali, kata dia, aturan hukumnya dievaluasi dan dilakukan perubahan, sehingga terbit aturan baru yang berkaitan dengan masalah ini. Boy berujar, Polri adalah penegak hukum, bukan regulator.
REZKI ALVIONITASARI
Baca:
Sidang Ahok, Hakim Tegur Polisi: Nggak Usah Ketawa
Ahok Laporkan Habib Novel, Ini Alasannya