TEMPO.CO, Makassar - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kota Makassar akhirnya turun langsung meneliti penyebab kenaikan harga cabai di pasar-pasar tradisional, terutama di Kabupaten Enrekang, Bantaeng, dan Maros. Kepala Kantor Perwakilan Daerah (KPD) KPPU Makassar Ramli Simanjuntak mengatakan meroketnya harga cabai dalam sepekan terakhir ini bukan disebabkan oleh faktor cuaca.
“Hasil tinjauan kami, ternyata di Kabupaten Bantaeng itu tanaman cabai tak terpengaruh kondisi cuaca. Dari panen sampai pasokannya normal,” ucap Ramli, Jumat, 13 Januari 2017. Berdasarkan pantauan di lapangan, kata Ramli, ternyata cabai dipanen terlalu cepat.
Baca: Gejolak Liar Harga Cabai, Presiden: Naik karena Musim Buruk
Seharusnya, ujar Ramli, dua minggu lagi, capai dipanen, tapi pedagang atau distributor datang lebih awal kepada petani. Mereka lalu merayu petani agar melakukan panen dan menjual cabainya. “Petani ditakut-takuti pedagang. Kalau tidak dijual cepat, harganya bakal merosot dan tak ada lagi pembeli yang menampungnya,” tutur Ramli.
Jadi, menurut Ramli, petani terpaksa melakukan panen dan menjualnya. Dia mencontohkan, cabai hijau yang biasanya dijual seharga Rp 15 ribu per kilogram berani dibeli Rp 21 ribu per kg oleh pedagang. Sedangkan harga cabai merah segar dijual petani Rp 30-34 ribu per kg.
Harga tersebut jauh lebih murah daripada harga cabai di pasar tradisional Makassar yang sekarang Rp 70-80 ribu per kg. Bahkan, awal Januari lalu, harga cabai segar itu sampai Rp 100 ribu per kg.
Baca juga: Harga Cabai Tinggi, Kementan Sebut Petani Sengaja Menaikkan
Begitu juga harga cabai di Kabupaten Maros. Di sana, petani menjual cabai kepada pedagang seharga Rp 40 ribu per kg. “Memang ada pedagang yang datang mengumpulkan cabai. Tapi, soal kenaikan harga, petani tak terlibat,” kata Ramli.
Solusinya, ucap Ramli, rantai pasokan cabai dari petani ke pedagang harus segera dipotong dengan cara melelang. “Ini supaya harga cabai tidak mahal saat sampai tangan konsumen,” ujarnya.
DIDIT HARIYADI