TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan munculnya politik dinasti dalam pemerintahan sangat rentan disalahgunakan dan cenderung melahirkan korupsi. Ia mencontohkan operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Klaten Sri Hartini.
“Klaten, ada banyak sekali dugaannya. Contoh paling sempurna bagaimana politik dinasti bekerja,” kata Oce di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat, 13 Januari 2017.
Oce menilai politik dinasti di Klaten dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi keluarga. Misalnya dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diduga koruptif. Ia menyebut korupsinya dilakukan terstruktur dan masif seperti proyek pengadaan dan perizinan.
Baca:
Ini Cara Cegah Dinasti Politik ala Bupati Klaten Terulang
Koordinator ICW Donal Fariz mengatakan ada dua faktor yang memicu korupsi oleh politik dinasti. Pertama, adalah motivasi untuk menguasai aset di daerah. Kekuasaan itu bakal disalurkan dalam bentuk korupsi penguasaan barang jasa, alih fungsi hutan, dan tambang. “Menjadi akses dan jembatan untuk masuk ke sumber daya ekonomi.”
Selain itu, kata Donal, faktor biaya politik yang tinggi. Membangun politik dinasti membutuhkan uang yang besar. Menurut Donal untuk menjadi wali kota, biaya politik yang dikeluarkan mencapai Rp20 miliar. Bahkan untuk menjadi gubernur di DKI Jakarta bisa mencapai Rp100 miliar.
Sehingga, apabila seseorang telah terpilih menjadi kepala daerah maka mereka memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menghidupi organisasi masyarakat, kepemudaan, hingga adat. Hal itu memicu kepala daerah mencari sumber dana hingga mengakibatkan perilaku koruptif.
Menurut Donal, politik dinasti tak hanya tampak di Klaten. Namun juga di Banten. Ia menilai dinasti pemerintahan di Banten tercipta dengan lebih dahulu membentuk dinasti politik. Sehingga politik dinasti di pemerintahan merupakan cerminan dari dinasti politik yang terbentuk.
DANANG FIRMANTO