TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) dan penggiat masyarakat sipil pro pengendalian tembakau mendukung rencana Komisi I DPR yang akan melarang iklan rokok di media penyiaran. Pengurus Komnas PT Bidang Hukum dan Advokasi, Muhamad Joni, mengatakan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok yang tercantum dalam RUU Penyiaran merupakan kebijakan politik hukum Dewan yang maju dan konform dengan UU Kesehatan dan sejumlah putusan MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Joni dalam rilis yang diterima redaksi, Kamis, 12 Januari 2017.
Langkah Komisi I DPR tersebut, kata dia, menunjukkan kepedulian para wakil rakyat melindungi anak dan remaja yang selama ini menjadi target utama iklan rokok. Soal larangan total iklan rokok itu, menurut dia, DPR telah menunjukkan pro pengendalian tembakau dan perlindungan masyarakat. “Karena itu, pasal tersebut mesti diamankan dalam harmonisasi, pembahasan, sampai pengesahan. Ini saatnya menuju era revolusi mental hak atas kesehatan dari bahaya rokok,” ujarnya.
Kini, Komisi I DPR sedang membahas Rancangan UU Penyiaran yang merupakan revisi atas UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam draf DPR Desember 2016, DPR menegaskan larangan iklan rokok pada pasal yang berbunyi, “Materi siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras, rokok, dan zat adiktif lainnya.” Langkah DPR dalam Draf Desember 2016 tersebut merupakan kemajuan positif mengingat dalam draf-draf sebelumnya DPR masih membolehkan iklan rokok.
Revisi UU Penyiaran telah dimulai DPR periode lalu. Sejarah proses penyusunan RUU tersebut ditandai dengan catatan buruk. Dalam proses awal penyusunan RUU, menurut Joni, Komisi I DPR periode lalu sebenarnya telah mengusung pasal pelarangan iklan rokok. Namun, dalam proses di tahap akhir, pasal larangan tersebut hilang, digantikan dengan tetap memperbolehkan iklan rokok dalam media penyiaran. “Kami tidak ingin preseden buruk ini terulang lagi. Kita harus kawal bersama-sama pasal larangan iklan rokok sampai RUU ini disahkan,” ujarnya.
Pasal 113 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan tembakau mengandung zat adiktif. Pada 2012, Mahkamah Konstitusi juga menolak uji materiil terhadap Pasal 113 dan 116 UU Kesehatan tersebut dan memutuskan tembakau tetap termasuk dalam golongan zat adiktif.
Dua regulasi ini merupakan landasan hukum yang kuat bahwa iklan produk tembakau rokok seharusnya dilarang di media apa pun. Indonesia tidak sendirian karena saat ini, 144 negara, termasuk negara miskin, seperti Namibia dan Ethiopia, telah melarang iklan rokok dalam media penyiaran.
“Kita semua tahu rokok itu produk berbahaya. Produk berbahaya seharusnya tidak diiklankan. Ini sama saja mau menjerumuskan masyarakat ke hal yang merugikan. Iklan rokok bukan hanya menawarkan orang merokok, melainkan menafikan kampanye bahaya rokok karena citra positif yang diciptakan di iklan-iklannya. Industri rokok seharusnya malu kalau ngotot produknya yang berbahaya terus diiklankan. Mau menjebak rakyat Indonesia?” ujar Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Faktanya, selama ini belanja iklan rokok sangat besar di televisi. Menguatnya pemasaran yang masif oleh industri diperlihatkan dengan belanja iklan rokok yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Belanja iklan rokok kretek menempati urutan ketiga tertinggi belanja iklan di televisi.
Riset Nina Mutmainnah Armando dkk dari Universitas Indonesia pada 2012 menunjukkan, selama empat bulan di 10 stasiun televisi, satu stasiun televisi saja bisa menampilkan iklan rokok hingga 25 merek rokok dengan 48 versi. Inilah mengapa masyarakat, termasuk anak-anak, sangat mudah terpapar iklan rokok di media penyiaran, terutama televisi, meskipun ada pembatasan jam tayang.
Survei lain yang dilakukan UHAMKA dan Komnas Perlindungan Anak sembilan tahun lalu juga menunjukkan 97 persen anak mengaku melihat iklan rokok di televisi. Sekitar 46,3 persen remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh iklan rokok, 50 persen remaja perokok merasa dirinya seperti yang dicitrakan iklan rokok, dan 29 persen remaja perokok menyalakan rokok ketika melihat iklan rokok pada saat tidak merokok.
Dewi Motik Pramono, pendiri Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, mendesak pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh melarang iklan rokok di berbagai media karena iklan-iklan rokok menyasar anak-anak dan perempuan yang merupakan pasar yang sangat besar.
“Yang harus diutamakan negara ini adalah perlindungan kepada masyarakat, bukan perlindungan kepada industri, apalagi ini industri rokok. Kalau anak-anak sehat, perempuan sehat, maka negara kuat dan hebat,” ujar Dewi.
NUR HASIM
Simak juga:
Soal Palu-Arit di Uang Baru, Ini Langkah Menteri Sri Mulyani
Kiat Membuat Payudara Tetap Sehat dan Indah