INFO INDONESIA KERJA - Mendengar istilah tanam paksa, otomatis yang terbayang adalah praktek kolonialisasi di era sebelum kemerdekaan. Masyarakat dipaksa menanam tanaman tertentu, dan hasil panennya dibeli murah Belanda yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi di pasar Eropa.
Namun tidak demikian dengan program Tanam Paksa Paksa Tanam (TP2T) yang telah berjalan sejak 2009 di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bupati Kupang Ayub Titu Eki memang mewajibkan menanam tanaman pangan tertentu di kebun atau pekarangan rumah warganya. Bedanya dengan tanam paksa versi penjajahan dulu, kini hasil panennya sepenuhnya dinikmati langsung masyarakat. Bisa dijual di pasar atau dikonsumsi sendiri.
“Tahun ini TP2T berganti nama jadi pengembangan Taman Eden agar tidak lagi kesannya rakyat dipaksa-paksa menanam,” ujar Ayub, tertawa.
Inti dari program Taman Eden adalah meminta warga terus menanam sayur-sayuran atau buah-buahan yang dapat dipanen hasilnya dalam 3 hingga 6 bulan. Sehingga dalam satu tahun minimal bisa dua kali panen, yang bisa dijadikan tambahan pendapatan atau alternatif bahan pangan bagi keluarga. Bisa pula ditambahkan budi daya ikan, ternak kecil, dan unggas.
Kini cakupan Taman Eden tidak sebatas pekarangan rumah, tapi juga sekolah, bahkan halaman tempat ibadah, seperti gereja. Setiap sekolah dan desa di wilayah Kabupaten Kupang diwajibkan menanam tanaman produktif di lahannya. Sedangkan bagi desa, Taman Eden bisa berupa rangkaian hutan-hutan kecil yang terhubung dengan desa lain sehingga membentuk ekosistem hutan. Selain menanam tanaman pangan, warga wajib menanam tanaman endemis setempat yang dilindungi.
“Satwa khas yang terdapat di tempat itu tidak boleh diganggu, karena itu merupakan satu kesatuan ekologi dan ekosistem yang indah. Tidak sekadar untuk makan, tapi bisa menjadi ekowisata,” kata Ayub. Bahkan dapat menjadi investasi desa, karena tidak bergantung pada pedagang besar. Kalau sudah dilakukan, tak ada ruang terbuka yang tidak bermanfaat. “Harapan saya, membangkitkan ekonomi desa, membangkitkan kemauan kerja untuk memberdayakan potensi desa,” tuturnya.
Sedangkan untuk Taman Eden di lingkungan sekolah, Ayub berkeinginan mampu mendorong generasi sehat, cerdas, dan mandiri dengan cara menggabungkan Taman Eden dan koperasi serta kantin sekolah. Penggabungan tersebut, menurut dia, bisa mereduksi dunia ekonomi dalam struktur yang mudah dijalankan siswa.
Kebun sekolah menjadi representasi sektor pertanian. Dapur kantin adalah industri kecil dan menengah, sedangkan koperasi mewakili sektor jasa. Taman Eden di sekolah menjadi laboratorium lapangan. Ketika anak-anak ke sekolah, juga datang ke kebunnya, ke dapurnya, dan ke koperasinya untuk melihat dan terlibat secara langsung proses perjalanan bahan makanan menjadi sumber pendapatan.
“Saya harapkan, kalau ini benar-benar dijalankan, suatu waktu mereka menjadi sarjana, akan mau kembali ke pertanian karena pengalaman masa kecilnya, bahwa pertanian dan kehidupan mandiri di desa bisa memberikan jaminan hidup yang layak,” kata Ayub, berharap.(*)