TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai materi dalam program Bela Negara yang digagas pemerintah harus minim materi tentang militer. Menurut dia, semestinya program Bela Negara lebih banyak mengandung materi sejarah perjuangan, konstitusi, persatuan, dan resolusi konflik.
"Syaratnya Diklat bela negara lebih menekankan kepada memahami Pancasila, kebhinekaan, dan pemahaman agama yang rahmatan lil'alamin," kata Karding di Jakarta, Rabu 11 Januari 2017.
Itu sebabnya, dia melanjutkan, kesan militeristik pelatihan bela negara dengan berbagai atributnya harus dikurangi. Karding menjelaskan, idealnya Diklat Bela Negara sebanyak 80 persen materinya berupa sejarah perjuangan, konstitusi, persatuan, resolusi konflik, dan sisanya terkait penguatan disiplin dengan baris berbaris serta upacara.
Karding menambahkan, untuk mengembangkan semangat persatuan, pelaksanaan Diklat seharusnya dilakukan dengan peserta yang beragam, tidak oleh satu kelompok ormas saja.
"Pelatihan bela negara terhadap FPI oleh TNI sebagai hal yang tidak perlu direaksi berlebihan karena bisa jadi materi cinta Tanah Air, toleransi dan disiplin yang disampaikan pada pelatihan, mengubah kelompok yang anti kemajemukan menjadi toleran," tutur dia.
Berdasarkan pengalamannya mengisi berbagai pelatihan Empat Pilar yang dijalankan MPR, Karding mengaku mencermati di beberapa tempat, memang terjadi pendangkalan pemahaman soal Pancasila. Karena itu Ketua FPKB di MPR itu, berharap pelatihan bela negara dapat meningkatkan penghayatan terhadap Pancasila, sehingga semangat menjaga persatuan dan kebhinekaan di Indonesia terus terjaga.
"Namun program bela negara harus ditopang oleh landasan hukum yang jelas, karena bila tidak ada aturan yang gamblang hanya akan menimbulkan kontroversi," kata Karding. Hal itu, menurut dia, termasuk isu militerisasi melalui organisasi-organisasi paramiliter yang dapat membahayakan semangat demokrasi di Indonesia.
Karding berpendapat, dengan regulasi yang jelas maka ukuran dan prasyaratnya juga akan menjadi jelas. Sehingga, dia berujar, program bela negara tidak bisa hanya bertumpu pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ayat tersebut menurutnya harus diatur melalui peraturan atau regulasi setingkat undang-undang. "Tidak adanya landasan hukum yang lebih rinci, konsep dan tujuan program bela negara menjadi tak jelas," ujarnya.
Karena itu, Karding menyarankan, walau program bela negara gagasan awal disodorkan oleh Kementeriaan Pertahanan, dalam pelaksanaannya karena terkait dengan masyarakat sipil, pelaksanaan pendidikan dan pelatihannya, seharusnya dilakukan oleh kementerian yang berkaitan dengan pendidikan atau pemuda. Kalau perlu, menurut dia, apabila serius maka program itu bisa lebih diarahkan untuk mengembangkan kepolisian masyarakat, dengan melibatkan warga dalam menjaga keamanan di lingkungannya masing-masing.
ANTARA