Selama menunggu itu, para calon ABK diminta agen untuk memperbaiki jalan di lingkungan sekitar. Untuk pekerjaan ini, mereka tak dibayar. Mereka justru diminta mengganti ongkos makan sehari-hari sebesar Rp 20 ribu per hari untuk menu ala kadarnya. Biaya akan dipotong dari gaji di kapal.
Pria kelahiran 1990 itu sebenarnya sudah enggan berangkat. Tapi dokumen pelayaran dan tiket sudah telanjur terbit. Rizky diancam agen untuk membayar Rp 25 juta bila tak jadi naik kapal. Diimpit paksaan, ia terpaksa meneken kontrak dengan agen.
Di sinilah tipu-tipu lain terjadi. Kontrak disodorkan malam-malam di bawah cahaya yang temaram. Para calon ABK hanya diberi waktu membaca kurang dari 10 menit. Mereka hanya paham akan menerima gaji US$ 200 per bulan, tapi tak paham bahwa gajinya akan dipotong sebagai jaminan agar mereka tak kabur. Karena diberi waktu secuil, ketentuan lain seperti gaji akan hangus bila tak menyelesaikan kontrak alpa dicermati.
Pada hari-H, Rizky akhirnya terbang ke Cape Town, Afrika Selatan. Di perairan sekitar tempat itu, kapal Homsang 26 asal Taiwan sudah menunggu. Di atas kapal, mimpi-mimpi yang diobral “sponsor” sirna. Tujuh bulan Rizky dan ABK lain bekerja seperti budak: bekerja lebih dari 20 jam sehari, makan seadanya, dan disiksa bila terlihat malas.
Baca cerita selengkapnya di majalah Tempo pekan ini dengan liputan utama berjudul "Budak Indonesia di Kapal Taiwan".
ANTON SEPTIAN