TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan pelaut Indonesia diperkirakan menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan di kapal Taiwan. Mereka umumnya bekerja di kapal penangkap ikan yang beroperasi di laut lepas.
Investigasi Tempo dan media independen Taiwan, The Reporter, menemukan bahwa sebagian besar dari mereka tak dibekali dokumen legal. Mereka biasanya tak punya visa kerja, menggunakan buku pelaut palsu, dan diberangkatkan oleh agen pengirim anak buah kapal (ABK) yang tak memiliki izin dari Kementerian Perhubungan.
Mereka pun tak tercatat sebagai pekerja migran di Indonesia maupun di Taiwan. Akibatnya, perlindungan terhadap mereka lemah. Di Taiwan, para ABK ikan asal Indonesia tak terpayungi Undang-Undang Tenaga Kerja negara tersebut.
Tempo menelusuri rantai pengiriman ABK dari Indonesia sampai ke Taiwan. Tempo mewawancarai puluhan pelaut dan mantan pelaut, sponsor atau calo perekrut ABK, dan agen yang tersebar di Jakarta, Tegal, Pemalang, dan Cilacap. Untuk mendapatkan gambaran utuh, Tempo mengirim Mustafa Silalahi, redaktur Desk Investigasi, ke Taiwan. Mustafa bertemu dengan pelaut Indonesia di Taipei, Keelung, dan Kaohsiung. Dia juga menemui agen Taiwan yang menjadi penyalur ABK asal Indonesia ke kapal milik orang Taiwan.
Dari cerita mereka tergambar pola bagaimana ABK direkrut, dibekali dokumen palsu, disodori kontrak yang tak adil, dan akhirnya diperlakukan dengan buruk di atas kapal. Cerita tak berakhir di situ sebab setelah turun dari kapal, sejumlah pelaut tak mendapatkan gaji yang dijanjikan.
Baca cerita selengkapnya di majalah Tempo pekan ini dengan liputan utama berjudul "Budak Indonesia di Kapal Taiwan".
TONS