TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Jalan Jawa Timur Wahid Wahyudi mengatakan sebaiknya permintaan membunyikan klakson telolet dilakukan saat bus berhenti agar tidak mengganggu keamanan.
"Kalau anak-anak pengejar bunyi klakson telolet tak memperhatikan kendaraan lewat, kan bahaya," kata Wahid ketika dihubungi, Senin, 26 Desember 2016.
Dia berharap, anak-anak pengejar bunyi klakson bus telolet tersebut tidak berlarian di pinggir jalan yang sangat ramai kendaraan. Tujuannya, keselamatan anak-anak dan pengendara bus serta penumpang bus tetap terjaga.
Wahid mengingatkan agar bunyi klakson telolet tidak melebihi ambang batas output suara klakson. Dia menyebut, berdasarkan pada Pasal 69 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, suara klakson paling rendah adalah 83 desibel (dB) dan paling tinggi 118 dB. "Kalau terlalu keras, bisa menimbulkan kebisingan," ucapnya.
Wahid juga menyarankan perusahaan bus tidak memasang klakson yang menimbulkan bunyi telolet dengan frekuensi tinggi. "Jangan sampai klakson telolet melanggar," ujarnya.
Dalam sepekan ini, Indonesia mengejutkan media sosial dengan frasa “om telolet om”. Kalimat itulah yang biasa dipakai untuk meminta sopir bus membunyikan klakson yang telah dimodifikasi. Lantaran telah membanjiri media sosial, DJ dunia ikut memasukkannya ke lagu.
Adapun Kementerian Perhubungan meminta sopir bus tidak selalu menuruti keinginan warga. Sebab, permintaan itu bisa membahayakan keselamatan karena pencari suara telolet berdiri berada tak jauh dari badan jalan.
EDWIN FAJERIAL