TEMPO.CO, Yogyakarta - Sikap kaum muda terhadap tindak kekerasan atas nama agama tergambar dalam survei yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Sebanyak 88,2 persen dari 1.200 orang anak muda yang disurvei, menyatakan tidak setuju dengan kelompok agama yang melakukan kekerasan. Sedangkan yang setuju hanya 3,8 persen dan yang tidak tahu dan tidak menjawab adalah 8 persen.
Survei dilakukan di enam kota besar di Indonesia, meliputi Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar. Respondennya meliputi 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan dengan usia 15-30 tahun. Latar belakang agama responden berbeda-beda dengan mayoritas beragama Islam 91,4 persen, suku mayoritas Jawa 53 persen, pekerjaan mayoritas mahasiswa atau pelajar 34 persen, penghasilan mayoritas di bawah Rp 3 juta per bulan ada 41, 4 persen.
Survei dilakukan secara tatap muka pada kurun waktu Agustus – Oktober 2016 dengan metode Proportionate Stratified Random Sampling. Sampling error 2,98 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Indikator survei meliputi tentang presepsi keyakinan beragama, radikalisme dan kekerasan berbasis agama, toleransi dan sikap generasi muda, tokoh, media dan jaringan sosial, nasionalisme, serta solusi generasi muda.
“Survei menunjukkan mayoritas anak muda tidak menyetujui tindakan radikal berbasis agama karena agama tidak mengajarkan kekerasan,” kata Manajer Advokasi INFID Beka Ulung Hapsara saat mempresentasikan surveinya dalam Diskusi Publik “Sosialisasi Hasil Survei Presepsi Orang Muda dan Pemetaan Internet – Social Media tentang Radikalisme dan Ekstrimisme di Indonesia” di Gedung University Club (UC) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Ada sejumlah alasan mengapa para responden tidak setuju adanya kekerasan atas nama agama? Sebanyak 44,3 persen berpendapat bahwa kekerasan tidak sejalan dengan nilai-nilai agama, 18,1 persen menganggap perbuatan itu tidak berperikemanusiaan, 16,7 persen menilai hal itu menodai agama, dan 9,7 persen kekerasan adalah perbuatan melanggar hukum.
Namun dalam indikator presepsi toleransi, prosentase sikap responden cenderung menurun. Seperti ketidaksetujuan itu ditunjukkan dengan sikap toleransi yang tidak menyetujui pembenaran pembakaran masjid di Tolikara, gereja di Aceh, dan vihara di Tanjung Balai sebanyak 55 persen karena dianggap tidak menghormati pemeluk agama mayoritas.
Sebanyak 10,9 persen responden sangat tidak setuju dan 57 persen tidak setuju atas pandangan, bahwa lebih baik mempunyai pemimpin yang dianggap koruptor ketimbang dipimpin non muslim. Responden muslim menyatakan 40,7 persen setuju bahwa memberikan ucapan selamat kepada pemeluk agama lain tidak melanggar syariat Islam. Sedangkan 39,1 persen tidak setuju. “Sayangnya, toleransi beragamanya rentan,” kata Beka.
Meski demikian, Beka melihat anak-anak muda tersebut masih menjadikan kebhinnekaan menjadi faktor utama yang membuat anak muda bangga berbangsa Indonesia dan menjadi alat pemersatu yang mencapai 94,1 persen.
Dalam indikator presepsi keyakinan beragama, anak-anak muda paling banyak mengikuti nasihat orangtua sebanyak 70,3 persen, guru agama hanya 6 persen, dan guru mengaji 5,6 persen. Mayoritas responden mengetahui tentang terorisme dari televisi sebanyak 81,8 persen dan media sosial 11,8 persen. Responden mempunyai solusi agar tidak terjebak dalam radikalisme dengan belajar agama 24 persen dan tidak terprovokasi 20,4 persen.
Sementara itu, survei kedua dilakukan Jaringan Gusdurian Indonesia tentang pemetaan Internet dan media sosial untuk mengetahui narasi utama ekstrimisme, memahami pesan-pesan kunci ekstrimisme, dan mengetahui pola penyebaran pesan ekstrimisme. Penelitian dilakukan pada 26 Oktober 2016-26 November 2016 dengan mengamati situs media online, media sosial yang berupa twitter, instagram, dan facebook), aplikasi pesan pribadi berupa whatsapp dan telegram, serta youtube.
Peneliti Jaringan Gusdurian Indonesia Heru Prasetya menjelaskan, dengan menggunakan kerangka dari ICCT (The International Centre for Counter Terrorism), ada beberapa kata kunci yang ditetapkan dalam assessment awal. Kata kunci yang paling muncul adalah kata kafir, sesat, syari’at Islam, tolak demokrasi, jihad, antek asing, komunis, liberal, pengkhianat bangsa, dan musuh Islam. Kata kunci tersebut untuk mengumpulkan data melalui piranti lunak yang digunakan yang kemudian dilakukan analisa framing untuk mendapatkan narasi utama dan pesan-pesan kunci.
“Narasi utamanya sama, bahwa umat Islam selama ini diperlakukan tidak adil serta mendapat ancaman dari pihak luar,” kata Heru.
Dari narasi utama itu, lanjut Heru, kemudian muslim merespon dengan melakukan perlawanan terhadap kelompok yang mengancam. Kecenderungan lainnya dari sebaran kata-kata kunci itu adalah menguatnya pendekatan tafsir tunggal atas Islam. “Tafsirnya dipilih, lalu disodorkan sebagai satu-satunya tafsir tunggal yang dianggap benar,” kata Heru.
Berikut ini tabel survei presepsi anak muda terhadap radikalisasi agama dan ekstrimisme dengan kekerasan:
Indikator Presepsi Radikalisme dan Kekerasan Berbasis Agama
Apakah tujuan dari kelompok radikal adalah menegakkan syariat Islam?
Setuju – 7,1 persen
Tidak Setuju – 17 persen
Tidak tahu – 75,6 persen
Apakah setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan?
Setuju – 3,8 persen
Tidak setuju – 88,2 persen
Tidak tahu – 8 persen
Mengapa tidak setuju?
44,3 persen – tidak sejalan dengan nilai-nilai agama
18,1 persen – tidak berperikemanusiaan
16,7 persen – membuat Islam ternodai
9,7 persen – karena melanggar hukum
2,5 persen – lainnya
8,7 persen – tidak tahu/tidak jawab
Sumber -- INFID 2016
PITO AGUSTIN RUDIANA