INFO NASIONAL - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) memiliki program untuk mempercepat pendayagunaan pulau-pulau kecil/terluar (PPKT) melalui adopsi pulau dengan penggalangan partisipasi berbagai pihak, seperti perguruan tinggi, dunia usaha, dan stakeholder lainnya, secara terpadu dan berkelanjutan dalam pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Salah satunya yang akan dilakukan adalah pemetaan kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan bagi masyarakat adat yang tinggal di PPKT, untuk kemudian didorong pengakuannya melalui peraturan daerah.
Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Rido Batubara mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diamanatkan bahwa dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum adat tersebut. “Oleh karena itu, apa pun yang kita lakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar itu harus melibatkan atau mendapat izin masyarakat hukum adat yang ada di wilayah itu. Ini supaya proses pembangunannya bisa berlangsung secara lancar,” ujarnya seusai menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Kamis, 8 Desember 2016.
Baca juga:
Ia menuturkan KKP ingin mengajak FIB-UI untuk melakukan kajian dan identifikasi agar bisa memetakan masyarakat adat yang sudah ada serta lokasi pemanfaatan sumber daya laut. "Masyarakat adatnya kita sudah tahu, misalnya suku Sangir yang mendiami gugusan pulau di Kabupaten Sangihe dan Talaud, Suku Laut di Kepulauan Riau, dan Suku Baju di Wakatobi. Tapi sampai sejauh mana lokasi mereka melakukan penangkapan ikan dan dengan budayanya masing-masing, kita belum punya petanya. Nah itulah yang harus dipetakan," ucap Rido.
Setelah dipetakan, kata Rido, pemerintah daerah juga harus membuat perda yang menyatakan lokasi itu merupakan dominan atau kewenangan dari masyarakat adat. “Sehingga, nantinya berbagai pembangunan atau pun proses perizinannya harus dari masyarakat adat supaya cost pembangunan itu tidak terlalu mahal nantinya. Karena mereka yang turun-temurun di situ, bahkan sebelum Indonesia merdeka pun mereka sudah ada di situ,” ujarnya.
Ketua Lembaga Kajian Indonesia FIB UI Lily Tjahjandari mengutarakan FIB UI sebenarnya sudah melakukan penelitian terhadap masyarakat adat di Indonesia. Hanya yang penting dilakukan ke depan adalah perlunya sinergi antara peneliti dan regulator, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Baca juga:
Ia berharap rencana kerja sama KKP dan FIB-UI ini nantinya bisa lebih dalam lagi memetakan roadmap dari masyarakat adat menjadi potensi yang luar biasa untuk membangun Indonesia. “Kalau kita lihat kan memang rohnya Indonesia itu ada di masyarakat adat yang menjadi kebhinnekaan Indonesia. Karena itu kita harus mendukung dan menjadikan kearifan lokal dan teknologi lokal yang menjadi kebanggaan kita dari dulu itu,” ucap Lily. (*)