TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Mohamad Sanusi dihukum pidana selama 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan. Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta itu dinyatakan telah terbukti menerima suap Rp 2 miliar dan melakukan pencucian uang Rp 45,28 miliar.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memutuskan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Ronald Worotikan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 13 Desember 2016.
Sanusi dinyatakan terbukti secara sah menerima uang Rp 2 miliar dari Presiden Direktur Podomoro Land Ariesman Widjaja untuk menurunkan kontribusi tambahan proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Sanusi beralibi bahwa uang tersebut merupakan sumbangan dari Ariesman kepadanya yang pada saat itu akan mengajukan diri sebagai bakal calon Gubernur DKI.
Jaksa mengesampingkan alasan Sanusi. Dalam pertimbangannya, jaksa menilai alasan itu tidak relevan karena dalam setiap pertemuan dengan Ariesman, Sanusi tak pernah membicarakan soal progres pencalonannya. "Jaksa menyimpulkan uang itu adalah untuk mengakomodir keinginan Ariesman Widjaja," ujar Ronald.
Sementara soal gratifikasi, Sanusi terbukti menerima uang Rp 45,28 miliar dari Danu Wira Direktur Utama PT Wirabayu Pratama dan Komisaris PT Imemba Contractors Boy Ishak. Keduanya adalah perusahaan rekanan pemerintah daerah DKI dalam menjalankan beberapa proyek di Dinas Tata Air antara tahun 2012-2015.
Selama persidangan terungkap bahwa Danu Wira dan Boy Ishak beberapa kali membayarkan pembelian aset-aset Sanusi. Dalam kesaksiannya, Danu mengatakan pembayaran aset Sanusi itu bertujuan untuk membayar utangnya, yakni Rp 3 miliar. Namun, pada faktanya, total yang dibayarkan Danu adalah Rp 4,67 miliar.
Danu berkelit bahwa kelebihan itu merupakan keuntungan yang ia janjikan kepada Sanusi lantaran menjadi penyetor modal dalam bisnis tambang di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Bisnis itu dikelola Sanusi, Boy, dan Danu. Namun jaksa meragukan alasan Danu. Sebab, Boy mengatakan bisnis pertambangan itu belum berjalan dan belum menghasilkan keuntungan.
Dalam surat dakwaan, Danu disebut memberikan uang kepada Sanusi sebesar Rp 21,18 miliar yang dibayarkan melalui pembelian aset di Soho, apartemen Residence, dan Vimala Hills. Namun Danu hanya mengakui membayar Sanusi Rp 4,67 miliar.
Sanusi mengatakan, saat melakukan pembayaran, ia hanya meminjam nama Danu. Jaksa menilai perbuatan Sanusi tidak masuk akal. Dalam kesaksiannya pun, Danu mengatakan tidak pernah memberi izin kepada siapa pun untuk menggunakan rekening pribadinya.
Untuk pemberian lain sebesar Rp 22,1 miliar, Sanusi berdalih bahwa itu adalah uang simpanannya. Menurut Ronald, penerimaan gaji yang diterima Sanusi selama menjadi anggota dewan tak sebesar harta kekayaan yang dimiliki.
Gaji Sanusi di DPRD selama 2009 hingga 2016, jika diakumulasikan hanya mencapai Rp 2,3 miliar. Seorang pengusaha, gajinya yang diperoleh dari PT Bumi Raya Properti juga hanya Rp 2,5 miliar. Jika diakumulasikan, nilainya tak lebih dari Rp 5 miliar.
Kecurigaan menguat karena sejak menjadi anggota Dewan DKI, ia tidak pernah mendaftarkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya ke KPK dengan alasan tak pernah mendapat imbauan. "Ini tidak masuk akal. Seharusnya sebagai anggota dewan, terdakwa sadar dengan tanggung jawabnya," kata Ronald.
Jaksa pun menyatakan Sanusi telah melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi seperti dalam dakwaan primair. Selain menuntut dengan hukuman dan denda, jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Sanusi selama lima tahun setelah ia dibebaskan.
Jaksa juga meminta majelis hakim menyita aset-aset Sanusi senilai Rp 45,28 miliar untuk negara. Dari total aset itu, Rp 1,9 miliar dibayarkan kepada PT Putra Adhi Prima selaku developer Vimala Hills dan Rp 169 juta dibayarkan kepada PT Cipta Pesona Karya selaku developer Apartemen Soho. Sebab, pembelian kedua aset itu belum terbayar lunas.
Hal-hal yang memberatkan Sanusi adalah terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang tengah gencar memberantas korupsi dan tidak berterus terang mengakui perbuatannya. Sedangkan hal-hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan selama persidangan, memiliki tanggungan empat anak, dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Mendengar tuntutan jaksa, Sanusi mengaku pasrah saja. Ia mengatakan akan mengajukan nota pembelaan dengan membawa dokumen-dokumen yang akan membuktikan bahwa ia tidak bersalah. "Namanya jaksa kalau menuntut memang harus sesuai dakwaan. Kalau enggak sesuai, nanti dibilang salah. Saya hargai," katanya seusai sidang.
Sanusi pun menyatakan tak keberatan jika nanti hakim memutuskan hak politiknya dicabut. Menurut dia, tidak berpolitik bukan berarti tidak bisa melanjutkan hidup. "Memang kenapa kalau tidak berpolitik? Saya masih bisa jadi pengusaha," ujar dia.
MAYA AYU PUSPITASARI
Baca juga:
Agus Harimurti Komentari Sidang Perdana Ahok
Ini Kata Sekretaris Kabinet Soal Ancaman Teroris ke Istana