TEMPO.CO, Jakarta - Rabu dini hari, 7 Desember 2016, Jumiati beserta 2 anak dan suaminya masih tidur nyenyak saat goncangan kuat menghantam rumahnya. Sehingga, dinding batu-bata yang baru saja dibangun satu persatu berjatuhan ke badannya.
Kemudian, suasana gelap gulita dan terdengar ramai suara warga di luar rumah. Ia, suami, dan dua anaknya yang masih kecil terjepit. Beruntung, batu-bata yang memenuhi badan Jumiati dan keluarganya tidak begitu banyak. Dalam gelap itu, ia merangkak dan menyingkirkan satu persatu batu-bata yang menumpuk di tubuhnya hingga berhasil lepas dari reruntuhan.
Suasana begitu mencekam. Suara pekikan gempa dibarengi tangisan anak kecil serta teriakan menyebut nama Allah terdengar saat subuh buta itu. Puluhan orang dengan baju compang-camping sambil menggendong anak berhamburan di jalan desa dengan wajah cemas.
Satu sama lain saling menatap seakan saling menanyakan ke mana harus pergi. “Semua tengok sana, tengok sini, seakan tak tahu mau ke mana,” kata Jumiati ketika ditemui Tempo di pengungsian Desa Blang Sukon, Senin, 12 Desember 2016.
Jumaiti dan warga lain sudah lima hari menempati pengungsian yang tergolong miris ini. Warga membangun sendiri tenda plastik berukuran kecil yang langsung beralaskan tanah. Tak heran, hujan yang terjadi beberapa hari membuat lokasi itu becek. Sebanyak 369 kepala keluarga atau 1.035 jiwa, 43 di antaranya bayi, terpaksa bernaung di bawah tenda yang tak layak itu.
Lima hari setelah bencana gempa di Pidie Jaya, belum ada bantuan tenda yang disediakan untuk pengungsi di desa ini dan sejumlah desa di sekitarnya. Saat gempa terjadi, Rabu, 7 Desember, di desa ini, sedikitnya 2 orang meninggal dunia, 16 orang luka berat, dan 57 orang luka ringan. Tak kurang dari 100 bangunan mengalami rusak berat dan 283 rusak ringan. Beruntung masjid dan musala hanya mengalami retak.
Jumiati dan warga desa lain memang bukan korban gempa dan tsunami Aceh 2004 lalu. Namun di era 1999-2004, mereka harus berhadapan dengan konflik bersenjata antara GAM dan TNI. Terlebih, desa tempat tinggalnya merupakan daerah merah dalam daftar wilayah operasi TNI.
Desa Blang Suko atau lebih dikenal dengan Cubo Sukon, Kecamatan Bandar Baru, Pidie, adalah kampung halaman panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tengku Abdullah Syafeie, yang tewas tertembak bersama istrinya dalam pertempuran dengan TNI pada 22 Januari 2002 di Desa Alue Mon, Cubo.
“Takut gempa dengan takut konflik beda,” katanya. “Kalau takut konflik, bila tak ada lawan atau bentrok, kita tidak takut, dan ada tanda kalo mau datang TNI atau ada orang GAM. Kalau gempa (datang) seketika,” katanya.
Wajar saja masa kelam konflik Aceh itu tergambar kembali dalam ingatan Jumiati dan warga Blang Sukon lain karena lokasi tempat mereka mengungsi sekarang adalah areal makam panglima GAM. “Di sini tempatnya luas dan tak ada bangunan tinggi, kan aman. Karena itu, kami mengungsi ke makam panglima,” ucap Jumiati sambil menimbun pasir di bawah tenda karena tergenang air.
IMRAN MA