TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mendorong semua ibu korban gempa di Pidie Jaya, Aceh, yang memiliki balita untuk tetap memberikan air susu ibu selama berada di pengungsian. Sebab, di beberapa pos pengungsian masih ada kelompok rentan seperti bayi yang membutuhkan perlakuan khusus.
Sutopo mencontohkan di pos pengungsian Gampong Tu, Kecamatan Pantareja, Pidie Jaya, Aceh. Di lokasi itu, terdapat 63 orang balita berusia 0-4 tahun. Selain itu ada pula 60 orang anak dengan usia 5-9 tahun dari total 500 jiwa atau sekitar 200 kepala keluarga. “Air susu ibu adalah makanan yang paling sempurna bagi bayinya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Ahad, 11 Desember 2016.
Sutopo menilai pemberian bantuan makanan untuk bayi dan balita tidak boleh sembarangan. Meski dalam kondisi darurat, menyusui adalah cara yang terbaik untuk ibu dibanding menyiapkan susu formula. Sebab, ketersediaan air bersih, bahan bakar untuk memasak, dan ketersediaan susu formula masih terbatas. Bahkan pemberian susu formula akan meningkatkan risiko terjadinya diare, kekurangan gizi dan kematian pada bayi.
Bantuan berupa susu formula atau susu bubuk umumnya diberikan pada kondisi darurat seperti gempa di Pidie Jaya, Aceh. Namun, menurut Sutopo, bantuan tersebut sering tidak terkontrol sehingga anak-anak yang seharusnya mengkonsumsi ASI mendapat asupan susu formula. Sutopo mencontohkan saat gempa terjadi di Yogyakarta 2006 lalu.
Pemberian ASI juga ditegaskan oleh Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto. Menurut Yurianto, tidak semua susu formula cocok untuk bayi. “Bayi yang terbiasa minum ASI, bisa terkena diare bila dipaksakan minum susu formula,” kata Senin 12 Desember 2016.
Hasil kajian dari UNICEF satu bulan setelah gempa menunjukkan bahwa tiga dari empat keluarga yang memiliki anak-anak di bawah usia enam bulan juga menerima bantuan susu formula. Berdasarkan kajian itu, terdapat peningkatan konsumsi susu formula dari 32 persen sebelum gempa menjadi 43 persen setelah gempa. Akibatnya, kasus-kasus penyakit diare di kalangan bayi usia di bawah enam bulan yang menerima bantuan susu formula dua kali lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak menerima bantuan itu. Di samping itu, secara rata-rata, angka diare di kalangan anak-anak usia antara 6 – 23 bulan adalah 5 kali lebih besar dari angka sebelum gempa.
Sutopo mengimbau agar tidak perlu ada donasi susu formula dan produk bayi lainnya seperti botol, dot, tanpa persetujuan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kota setempat. “Bagi ibu yang telah menyapih anaknya harus didukung untuk memulai relaktasi dan mencari ibu susu untuk bayi tanpa ibu,” kata dia.
Sutopo mengatakan jika ada bayi yang tidak bisa disusui, bayi tersebut harus diberikan susu formula dan perlengkapan untuk menyiapkan susu tersebut, di bawah pengawasan yang ketat dan kondisi kesehatan bayi harus tetap dimonitor. Botol bayi sebaiknya tidak digunakan karena risiko terkontaminasi karena kesulitan untuk membersihkan botol. Gunakan sendok atau cangkir untuk memberikan susu kepada bayi.
Sementara itu, Sutopo melanjutkan apabila ada bayi yang tidak bisa disusui karena alasan medis di bawah pengawasan ketat petugas kesehatan terlatih, pastikan terdapat saranan air bersih yang memadai. Selain itu harus ada peralatan penyiapan yang higenis dan pemberian tersebut harus selalu dimonitor.
DANANG FIRMANTO