TEMPO.CO, Bandung - Tim Tanggap Darurat dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Bandung mulai memeriksa dampak guncangan gempa Pidie Jaya. Selama delapan hari, mereka menyusuri lokasi bencana di Aceh.
Salah satu temuan awal adalah jalur sesar yang muncul ke permukaan berupa retakan akibat gempa pada Rabu, 7 Desember 2016. “Jalur sesarnya memanjang cukup konsisten,” kata Supartoyo, Ketua Tim Tanggap Darurat, saat dihubungi Jumat, 9 Desember 2016.
Bangunan seperti masjid yang terpotong oleh jalur sesar tersebut dipastikan roboh. Tim yang bergerak ke tiga kabupaten, yakni Pidie, Pidie Jaya, dan Bireun, menyaksikan kerusakan bangunan yang cukup intensif.
“Terutama di ibu kota Pidie Jaya, Meureudu, yang dekat dengan sumber gempa,” ucapnya.
Kerusakan parah bangunan di sana disebabkan oleh sejumlah faktor. Selain kondisi bangunan yang dibuat tidak tahan gempa, tanah endapan di pesisir timur Pidie itu berjenis aluvial yang jenuh air.
Temuan lain tim tersebut adalah banyak retakan tanah akibat gempa dan di beberapa tempat terjadi liquifikasi atau material yang keluar dari dalam tanah.
Rencananya, tim tersebut akan bertugas hingga pekan depan untuk selanjutnya melaporkan temuan dan menghasilkan rekomendasi secara lengkap.
Salah satu rekomendasi itu, ujar Supartoyo, permukiman harus menjauh dari jalur sesar. Sesuai dengan aturan, tutur dia, permukiman harus berjarak 250 meter dari garis patahan.
Selain menelusuri jalur sesar utama yang menyebabkan gempa, Tim Tanggap Darurat mencari jalur sesar lain atau sekunder di wilayah tersebut untuk pemetaan sesar.
Kerja tim itu saat ini, menurut Supartoyo, mengalami kendala akses informasi elektronik akibat padamnya aliran listrik di Pidie Jaya. Setrum hanya bisa mengalir di tempat yang memiliki alat generator set.
ANWAR SISWADI