TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti sosiologi Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor, mengatakan ada kecenderungan majikan bersikap inkonsistensi dalam menyikapi kebijakan perlindungan kepada pekerja rumah tangga di Indonesia. Di satu sisi, kata dia, mengakui PRT sebagai pekerja, tapi di sisi lain mereka memaknai PRT berbeda dengan pekerja lain.
“Studi kami menunjukkan ada sikap double standard bahwa PRT adalah pekerja, tapi relasinya dengan majikan masih lebih dimaknai sebagai relasi sosial. Tapi juga diakui sebagai relasi kerja,” kata Ida Ruwaida memaparkan hasil risetnya dalam diskusi bertema “PRT dan Perbudakan Modern: Potret Suara PRT dan Majikan” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan International Labour Organization (ILO) di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta Pusat, Rabu, 23 November 2016.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah PRT di Indonesia meningkat 51,7 persen dari 1,7 juta orang pada 2008 menjadi 2,6 juta PRT pada 2011, termasuk PRT anak. Pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah selama bertahun-tahun rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi di dalam rumah tempat mereka bekerja, yang sulit dipantau pihak luar. Mereka dibutuhkan, tapi minim perlindungan.
Penelitian Ida Ruwaida Noor ini didukung ILO. Penelitian kuantitatif yang didukung data wawancara mendalam dan observasi tersebut dilakukan di Surabaya, Makassar, dan Bandung pada tahun ini. Sampel per kota sebanyak 150 pekerja rumah tangga dewasa dan 150 majikan, 30 pekerja rumah tangga anak, 30 majikan PRT anak, dan 30 keluarga PRT anak.
Dalam kehidupan sehari-hari, pekerja rumah tangga kerap disebut sebagai “pembantu” rumah tangga. Relasi yang terbentuk antara majikan dan “pembantu” lebih merupakan relasi sosial: majikan sebagai pengayom atas si miskin PRT, bukan relasi ekonomi atau kerja.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa banyak majikan pekerja rumah tangga dewasa (live in maupun live out) di Surabaya dan Makassar yang menilai PRT sebagai pekerja. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah PRT digaji tetap, PRT juga bekerja, serta jelas jenis pekerjaan dan waktu kerjanya. “Namun banyak majikan di Bandung yang menganggap PRT bukanlah pekerja. PRT bukanlah pekerjaan formal dan PRT sudah dianggap keluarga,” ujarnya.
Penilaian terhadap PRT ini mempengaruhi pandangan majikan tentang perlu atau tidaknya peraturan tentang PRT. Majikan yang berpandangan perlu ada peraturan tentang PRT mencapai 58,7 persen di Surabaya, di Bandung 70 persen, dan Makassar 83,6 persen. Alasannya, kata Ruwaida, peraturan tentang PRT akan menjadi dasar dari perjanjian tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. “Agar ada kejelasan kerja bagi PRT dan agar ada peraturan yang melindungi PRT,” tuturnya.
Sebanyak 41,3 persen majikan di Surabaya, 30 persen di Bandung, dan 16,4 persen di Makassar menganggap tidak perlu ada peraturan tentang PRT. Alasanya, kata Ruwaida, soal pekerjaan lebih baik dibicarakan langsung antara majikan dan PRT saja, didasarkan atas kekeluargaan. “Mereka mengatakan PRT adalah pekerjaan yang ringan dan urusan PRT itu bergantung pada majikan,” ucapnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT Lita Anggraini mengatakan, dalam kenyataannya, banyak PRT diperlakukan sebagai budak dalam bentuk pemaksaan kerja, eksploitasi, upah tidak dibayar, isolasi, penghambaan, dan rentan menjadi korban kekerasan. “Beban kerja tidak terbatas. Semua beban bisa dilimpahkan dan dipaksakan ke PRT. Jam kerja panjang lebih dari 16 jam per hari,” ujarnya.
Selain itu, tak ada waktu istirahat yang jelas, tak ada libur mingguan, tak ada jaminan sosial, upah hanya 20-30 persen dari upah minimum provinsi, dan larangan berorganisasi oleh majikan. Karena itu, Lita mendorong pemerintah menerbitkan undang-undang yang melindungi PRT di tingkat nasional.
Selain acara diskusi, digelar acara Penghargaan Liputan Media Terbaik bertema “Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Penghapusan Pekerja Rumah Tangga Anak”. Tiga juri, Redaktur Eksekutif Tempo.co Burhan Sholihin, Pemimpin Redaksi Jakarta Post Endy Bayuni, dan Pemimpin Redaksi SCTV Mohamad Teguh, memutuskan enam pemenang dari 82 karya. "Patut diakui perjuangan PRT masih panjang, tapi media yang peduli harus ikut membantu usaha pengakhiran sistem perbudakan modern ini," kata Endy Bayuni.
Liputan berjudul NTT Darurat Human Trafficking karya Johan Pahlevi (MetroTV) dinobatkan sebagai pemenang utama kategori liputan investigasi. Sedangkan untuk kategori liputan mendalam dimenangi Ani Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kenia Gusnaeni (RTV) dan Menolak Pengabaian karya Wina Triyanita Sari Simanjutak (DAAI TV).
Dua pemenang kategori liputan feature diraih oleh Menggantung Nasib PRT karya Kresna (Tirto.id) dan Geliat Pemberdayaan PRT karya Dodi Prananda dari Jawa Pos TV. Kategori terakhir, foto bercerita, pemenangnya adalah foto cerita Penampungan PRT karya Andrey Gromico (Tirto.id).
Pemenang investigasi mendapatkan hadiah Rp 12 juta, dua pemenang kategori berita mendalam masing-masing Rp 8 juta, dua pemenang feature masing-masing Rp 6 juta, dan satu pemenang foto cerita Rp 8 juta.
NUR HASIM