TEMPO.CO, Depok - Tsunami menjadi bencana yang mengintai penduduk Indonesia, yang berada dekat dengan pesisir pantai. Tercatat 233 kota/kabupaten berpotensi diterjang tsunami dengan potensi yang membahayakan 3,8 juta jiwa. Namun, sayangnya, alat pendeteksi gelombang pasang laut masih minim dan banyak yang rusak.
"Bencana tsunami penuh ketidakpastian dan pasti akan berulang dengan siklus 200 tahun. Apalagi kawasan Indonesia rawan tsunami," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho. Ia mengatakan itu dalam seminar perubahan iklim di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Rabu, 23 November 2016.
Menurut Sutopo, jumlah alat pendeteksi dini tsunami sangat minim bila melihat begitu luasnya laut di Indonesia. Apalagi sekarang 25 alat pendeteksi tsunami di Samudra Hindia dan Laut Arafuru sudah tidak berfungsi.
Tercatat, pada 1929-2014, terjadi 173 kali tsunami besar dan kecil. "Pada 2004, tsunami di Aceh menewaskan 200 ribu jiwa karena tidak ada alat pendeteksi dini tsunami," ucap Sutopo.
Sutopo memaparkan riwayat tsunami di Indonesia sudah cukup mengerikan. Ditambah dengan banyaknya gunung berapi dan pergeseran lempeng bumi di kawasan laut, yang menyebabkan Indonesia rawan terjadi gempa yang berpotensi menyebabkan tsunami.
Sebagai contoh, gempa yang terjadi di Flores dengan kekuatan 7,8 skala Richter menyebabkan tsunami setinggi 36 meter—yang mengakibatkan 3.600 jiwa tewas dan 18 ribu rumah rusak. "Letusan Gunung Tambora, Toba, dan Krakatau juga menyebabkan tsunami yang memakan korban jiwa," ujarnya. Ini menjadi tantangan dalam mewujudkan negara maritim yang bisa menanggulangi kerawanan tsunami.
IMAM HAMDI