TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa menilai maklumat yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya bernomor Mak/04/XI/2016 perihal Penyampaian Pendapat di Muka Umum berpotensi mengancam demokrasi. Maklumat itu keluar setelah Kapolri mengeluarkan larangan rencana aksi bela Islam jilid III pada 2 Desember 2016. Tujuannya untuk mengantisipasi demonstrasi oleh berbagai organisasi masyarakat.
Aqsa menyebut langkah Kapolda Metro Jaya tersebut merupakan kemunduran di era reformasi. “Kepolisian mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan maklumat yang berisi ancaman kepada demonstran,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 22 November 2016.
Aqsa menyoroti ada beberapa permasalahan dari maklumat yang dikeluarkan kepolisian tersebut. Dari segi peraturan, penyampaian pendapat bagian dari hak asasi manusia. Aturan itu tertuang dalam Pasal 28 ayat 3 UUD 1945, Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau UU Nomor 12 Tahun 2015.
Menurut Aqsa, pembatasan terhadap kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang. “Kita sudah semestinya mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang mengatur mengenai pembatasan demonstrasi,” ujarnya.
Aqsa menambahkan ancaman terhadap demonstrasi pada 2 Desember 2016 juga merupakan ancaman terhadap kelompok masyarakat sipil lain yang menyuarakan ketidakadilan. Misalnya petani yang dirampas lahannya, kelompok miskin kota yang digusur rumahnya, buruh yang dilanggar haknya atas upah yang layak, nelayan yang jadi korban reklamasi, dan kelompok marjinal lain yang dilanggar hak-haknya.
Baca Juga:
Maklumat yang dikeluarkan menyebutkan perihal larangan makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden, memisahkan diri dari NKRI, dan menggulingkan pemerintahan. Ancamannya pun hingga ke pidana penjara maksimal 20 tahun hingga pidana mati mengacu pada Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aqsa menilai pasal tersebut merupakan pasal yang multi tafsir atau pasal karet. Pasal itu dianggap sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis di era Orde Baru. Sedangkan di era reformasi, pasal makar itu sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang melakukan protes. Aktivis Papua dikenakan pasal makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera yang boleh dikibarkan di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Menurut Aqsa, dalam demonstrasi, lazim bahwa demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau berteriak agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri atau digulingkan. Ia menilai kepolisian telah berlebihan apabila menerapkan pasal makar hanya karena ekspresi.
Perihal ancaman hukuman mati, Aqsa menilai kepolisian dan pemerintahan saat ini tidak memiliki rasa malu. Sebab, hukuman mati merupakan hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. “Sebagai sebuah negara demokrasi seharusnya hukuman mati ditinggalkan oleh Indonesia,”
Menurut Aqsa, pembatasan waktu demonstrasi pun bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998. Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 yang membatasi demo hingga pukul 18.00 bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998. Pertentangan itu terlihat dalam penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf b. Pasal itu menjelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan pada malam hari dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan aparat keamanan.
Selain itu, Aqsa menilai larangan demo untuk tidak boleh mengganggu fungsi jalan raya dan arus lalu lintas adalah alasan yang mengada-ada. Demonstrasi pasti akan berpengaruh pada arus lalu lintas. Seharusnya kepolisian memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi terajadi. Sesuai tugas kepolisian dalam Pasal 18 huruf b Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008. “Polisi dapat bertindak jika ada pemblokiran jalan oleh demonstran.”
DANANG FIRMANTO