TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menghadiri istigasah akbar di Masjid Agung Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa, 22 November 2016. Ia datang bersama Panglima Kodam III Siliwangi Mayor Jenderal Muhammad Herindra, tokoh agama, dan masyarakat.
Dalam sambutannya, Tito menyebutkan Tasikmalaya menjadi kota bersejarah saat perjuangan dulu. "Perjuangkan kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang," kata Tito.
Baca: Megawati: Sebagian Peserta Demo 4 November Hanya Ikut-ikutan
Menurut dia, ulama militan di Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi tiang penting negara untuk tetap bertahan dan merdeka. Hasilnya, ulama dan warga bisa memukul mundur Belanda yang membawa senjata.
Tito kemudian menyebut peristiwa makar yang terjadi pada masa lalu. Dia berujar, tentara berapa kali digoyang peristiwa pemberontakan untuk mengubah NKRI di bawah dasar negara yang sudah disepakati.
"Semua berusaha digoyang. Pemberontakan PRRI, Permesta, DI TII. Terakhir pemberontakan PKI. Semua berhasil ditumpas berkat kebersamaan TNI, polisi, komponen lain, serta masyarakat yang dimotori pemuda dan ulama," ucapnya.
Baca: Tuntut Ahok Dipenjara, Demo 2 Desember Dianggap Tak Jelas
Pemberontakan DI TII yang meski membawa panji agama Islam, menurut Tito, berhasil ditumpas berkat kebersamaan. Strategi pagar betis ini dilaksanakan TNI bersama ulama, tokoh masyarakat, dan pemuda. "Sehingga pemberontakan yang berusaha mengubah NKRI bisa kita netralkan," tuturnya.
Pasca-pemberontakan, kata Tito, Indonesia melalui langkah yang stabil. Sekarang negara ini berada di era demokrasi. "Tidak bisa otoriter, berbuat semaunya sendiri. Terjadi sistem yang namanya check and balance, adanya keseimbangan, di mana pemerintah mampu dikoreksi, dapat dikritik oleh DPR, oleh lembaga pengawas lain, bahkan oleh media," ucap Tito.
Peran media saat ini, menurut Tito, sangat kuat. "Mau ngomong apa saja bisa, tanpa dibredel," ujarnya.
Publik pun, tutur dia, mampu dan boleh mengoreksi pemerintah. Apalagi, dengan adanya media sosial, seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube, "Semua orang bebas bicara dan mengoreksi," katanya.
Tapi, di sisi lain, Tito menjelaskan, kebebasan di era demokrasi liberal bukan berarti tanpa risiko. Ada sisi negatifnya. "Sisi negatifnya adalah kalau kebebasan itu sebebas-bebasnya, ini dapat membahayakan. Semua orang bebas bicara, lalu memprovokasi. Bebas appload di medsos, lempar batu sembunyi tangan, ributlah semua. Setelah orang ribut, dia (si pelaku) tenang-tenang saja," ucapnya.
Selain itu, ujar Tito, orang dapat mengoreksi sebebas-bebasnya pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, kepala daerah tapi dasarnya enggak ada. "Yang terjadi banyak fitnah. Sisi-sisi negatif ini harus dihindari."
Baca: Demokrat: Polri Harus Bisa Membuktikan Ada Makar
Demokrasi kebebasan ini, menurut Tito, kalau tidak hati-hati dalam menerapkannya, akan membahayakan integritas bangsa, membahayakan NKRI yang sudah diperjuangkan TNI, Polri, dan ulama pada 71 tahun lalu.
Tito menuturkan demokrasi bisa membuat kembali terjadinya unsur primordialisme. Artinya, warga mulai mengidentifikasi, yang tadinya bersatu penuh toleransi satu sama lain menjadi kembali kepada identitas masing-masing.
"Saya orang Sunda, Jawa, Palembang, Kalimantan, atau Papua, padahal tadinya semua orang Indonesia. Mulai lagi bicara yang sensitif, saya beragama Islam, kamu beragama lain. Saya orang Indonesia asli, kamu pendatang, jadi bebas bicara semaunya. Ini harus dihindari," ujarnya.
CANDRA NUGRAHA