INFO MPR - Salah satu agenda reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, sudah 18 tahun berjalan, pemberantasan korupsi hampir berjalan di tempat.
“Ini ada hubungannya dengan pelaksanaan demokrasi. Sebab, mewujudkan kehidupan demokrasi erat hubungannya dengan pemberantasan korupsi,” ujar Wakil Ketua MPR RI Mahyudin saat memberikan ceramah Sosialisasi Empat Pilar bertema “Komitmen Pemimpin untuk Memberantas Korupsi” dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia di Aula Balai Kota Balikpapan, Senin malam, 21 November 2016. Hadir dalam sosialisasi ini Wakil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas'ud, Ketua Format Kalimantan Timur, anggota DPRD Balikpapan, Kasdam VI Mulawarman, Ketua Formak Kalimantan Timur Jeriko Noldy, Ketua Formak Balikpapan, unsur Forkompinda Kota Balikpapan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, serta LSM Kota Balikpapan.
Menurut Mahyudin, demokrasi berjalan efektif di negara-negara maju. Tapi, di negara-negara kurang maju, demokrasi tersendat. Di negara maju, pendapatan per kapitanya sudah mencapai US$ 40 ribu, sedangkan di Indonesia masih US$ 30 ribu. Gini ratio di Indonesia mencapai 42 persen, di mana jurang antara orang kaya dan miskin sangat jomplang. “Inilah yang membuat demokrasi di Indonesia tidak bisa berjalan efektif, yaitu karena masyarakatnya belum kaya,” tuturnya.
Kalau di Amerika Serikat, kata Mahyudin, banyak yang memberikan sumbangan saat seseorang mau menjadi calon pejabat publik dan politikus. Berbeda dengan Indonesia, di mana calon yang justru menyumbang. “Nah, beban pencalonan yang sangat berat inilah yang kemungkinan bisa membuat para pejabat korupsi,” katanya.
Hal ini juga yang membuat kenapa banyak gubernur, bupati, dan wali kota banyak yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Itu karena biaya politik yang sangat mahal,” ujar Mahyudin.
Karena itu, Mahyudin melihat bahwa sebetulnya Indonesia belum siap menyelenggarakan pemilu langsung, dan itu perlu dievaluasi karena biaya kampanyenya terlalu besar. Hal ini membuat politikus yang tidak memiliki modal pasti bisa berpikir untuk “bermain-main” dengan proyek yang akhirnya berurusan dengan KPK.
Gaya hidup feodal juga menjadi penyebab para pejabat di Indonesia untuk melakukan korupsi. Termasuk juga mental pejabat yang kagetan. “Ini membuat para pejabat kita mudah terjebak melakukan korupsi. Ingin selalu dihormati, punya ajudan dan mobil bagus. Cara hidup hedonis ini membawa kita pada hidup boros yang membuat kita berpeluang untuk korupsi," kata Mahyudin. (*)