TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) kembali melaporkan calon Gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama ke polisi. Setelah sebelumnya membawa tudingan tentang penistaan agama, kali ini ACTA menyebut Ahok, sapaan Basuki, telah menfitnah para peserta unjuk rasa 4 November 2016.
Anggota ACTA Habiburokhman saat mendatangi Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Kamis, 17 November 2016, mengatakan laporan pihaknya berdasar pada pernyataan Ahok saat diwawancarai Australian Broadcasting Corporation News (ABC News).
Baca Juga:
Ahok, menurut ACTA, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Dugaannya fitnah, dia (Ahok) menyebut demonstran 4 November dibayar Rp 500 ribu," kata Habiburokhman di depan kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta.
Saat melapor, Habiburokhman bertindak sebagai pendamping hukum bagi pelapor bernama Herdiansyah.
Bukti yang dibawa, ujarnya, salah satunya berupa dokumentasi pernyataan Ahok. "Link berita Ahok itu juga ada rekaman videonya, bisa dilihat di mobile.abc.net.au berjudul 'Jakarta Governor Ahok Suspect in blasphemy case, Indonesia Police say'," kata Habiburokhman
Berita tersebut diposting oleh ABC News pada Rabu, 16 November 2016. Pernyataan Ahok yang dikutip, kata Habiburokhman, adalah 'It is not easy, you send more than 100.000 people, most of them if you look at the news, said they got the money 500.000 rupiahs'.
Arti kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia, adalah 'tak mudah menggerakkan 100 ribu orang. Sebagian besar mereka (demonstran), bila anda baca berita mengaku mendapatkan uang Rp 500 ribu'.
ACTA juga membawa barang bukti berupa foto Herdiansyah dan sejumlah demonstran saat aksi unjuk rasa 4 November. "Dia (Herdiansyah) orang biasa, profesinya advokat, tapi ikut aksi sebagai warga negara biasa, sehingga tak terima dengan pernyataan saudara Basuki," tuturnya.
Habiburokman menunjukkan surat Laporan Polisi (LP) bernomor LP/1153/XI/2016 dari Bareskrim. "Intinya kami ingin laporan ini cepat diproses."
YOHANES PASKALIS