INFO NASIONAL - Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 (PP 18/2016) tentang Perangkat Daerah diharapkan membawa perubahan yang signifikan terhadap pembentukan perangkat daerah dengan prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja yang sesuai kondisi nyata di masing-masing daerah. Buntut keluarnya PP tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) menerbitkan surat edaran Nomor B/3116/M.PANRB/09/2016 yang mengatur proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di lingkungan pemerintah daerah.
PP 18/2016 yang diamanatkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini mengusung prinsip penataan organisasi perangkat daerah yang rasional, proporsional, efektif, dan efisien. Dengan penerapan PP ini, diharapkan terjadi perampingan organisasi di pemerintahan daerah sekitar 20 persen, menyusul adanya perumpunan-perumpunan yang baru.
Baca Juga:
Deputi Kelembagaan dan Tatalaksana Kementerian PAN RB Rini Widyantini mengatakan, dengan PP 18/2016, maka organisasi di lingkungan pemerintah daerah menjadi lebih jelas pekerjaannya dan mengurangi tumpang tindih melalui tipologi. “Cukup signifikan. Dari segi anggaran juga lumayan banyak,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam PP 41 Nomor Tahun 2007, pembentukan organisasi pemerintah daerah lebih banyak menggunakan pola maksimal. Sedangkan dalam PP 18/2016 dibuat ada tipologinya. Tipologi itu menunjukkan organisasi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Ada perhitungan-perhitungannya sehingga organisasi di pemerintah daaerah menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan. “Kalau dulu kan mengejar tipe maksimal, kalau sekarang tidak bisa,” ujar Rini.
Dalam PP 18/2016, urusan pemerintahan dikelompokkan ke dalam urusan wajib, pilihan dan urusan penunjang. Untuk menetapkan apakah dia menjadi dinas atau bukan, dilakukan dengan menghitung nilainya sekian.
Baca Juga:
Perampingan jumlah organisasi pemerintah daerah diyakini berimbas pada efisiensi belanja birokrasi, yang tergambar dalam APBD, yang terdiri dari tiga kelompok. Pertama, belanja modal, yakni pembayaran untuk perolehan aset dan atau menambah nilai aset tetap. Kedua, belanja barang dan jasa yang digunakan untuk pembelian barang/jasa habis pakai, perjalanan dinas, sewa, honor, dan lain-lain. Sedangkan kelompok ketiga adalah belanja pegawai yang dibayarkan untuk gaji, tunjangan, serta lain-lain belanja pegawai.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono (kini Plt Gubernur DKI Jakarta) mengungkapkan, secara nasional, 50,17 persen APBD kabupaten/kota untuk belanja modal, 40,63 persen untuk belanja barang dan jasa, dan belanja pegawai 9,20 persen.
Ada dua kebijakan yang ditempuh pemerintah. Pertama, deregulasi yang dilakukan dengan pembatalan peraturan daerah, yang jumlahnya mencapai ribuan. Kedua, debirokratisasi, yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Semangat dari PP 18/2016 adalah mewujudkan kelembagaan perangkat daerah yang tepat fungsi dan tepat ukuran. Kedua, integrasi kelembagaan, sistem merit, dan perbaikan pelayanan publik menuju dynamic government, serta mempertegas fungsi dinas dan badan. Dengan semangat ini, kepala daerah diharapkan dapat menyesuaikan besaran perangkat daerah, dan secara nasional dapat menimbulkan efisiensi 15-25 persen. Dalam kebijakan debirokratisasi ini, semakin kecil (ramping) organisasi pemerintah daerah, belanja barang dan jasa dan belanja pegawai juga semakin kecil sehingga belanja modal akan semakin besar.
Sebagai akibat dari pemberlakuan PP 18/2016, seluruh pemerintah daerah harus melakukan pemetaan kelembagaan di masing-masing daerahnya, kemudian menetapkan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) yang baru, serta diikuti dengan pengisian jabatan. (*)