TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Muhammad Syarifudin mengatakan hingga kini belum ada kejelasan peraturan yang secara khusus bisa menjerat korporasi dalam kasus korupsi. Dalam hukum pidana, korporasi sudah termasuk subjek hukum tapi masih sedikit yang dijerat. “Misalnya prosedur dan tata cara penegakan hukum, belum jelas,” katanya di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa, 15 November 2016.
Menurut Syarifudin, ketidakjelasan itu terdapat di dalam instrumen hukum sehingga mengakibatkan aparat penegak hukum kesulitan menjerat perusahaan. Alasan lain adalah pidana telah dijatuhkan kepada pengurus korporasi. Namun korporasi yang bersangkutan tidak didakwa.
Koordinator Peneliti Pusat Penelitian Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Bettina Yahya mengatakan ada beberapa perusahaan yang bermasalah dan berpotensi untuk dijerat pidana.
Yahya mengatakan beberapa perusahaan itu belum tersentuh hukum untuk bertanggung jawab atas kerugian negara. “Pertanggungjawaban pidana masih mencakup petinggi perusahaan yang diseret sebagai terdakwa di persidangan,” katanya.
Dari sekian perusahaan itu baru satu perusahaan yang dijerat pidana, yaitu PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri ditetapkan sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan anggaran Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010. Ia mengatakan perusahaan itu dihukum dengan pidana denda Rp 1,3 miliar. Selain itu ada denda tambahan berupa penutupan sementara perusahaan selama enam bulan.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy Hiariej, mengatakan pada korupsi oleh korporasi, subjek hukum terdiri dari lima unsur, yaitu pengurus korporasi, direktur dan komisaris, korporasi, orang yang memberi perintah, dan gabungan pengurus serta korporasi.
Eddy menilai langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menjerat korporasi yang terbukti bersalah. “Kuncinya ada pada jaksa penuntut umum KPK.”
DANANG FIRMANTO