TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan upaya deradikalisasi yang selama ini dilakukan pemerintah di dalam penjara belum sepenuhnya berjalan efektif. Jadi, ucap dia, Markas Besar Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berencana mengevaluasi program deradikalisasi. "Programnya nanti perlu dievaluasi lagi oleh Polri bersama dengan BNPT," ucap Boy di Mabes Polri, Senin, 14 November 2016.
Boy berujar, polisi tidak dapat memonitor mantan-mantan narapidana terorisme secara menyeluruh untuk mengetahui tindakan mereka setelah menjalani hukuman. Pernyataan Boy ini sekaligus menyikapi peristiwa teror bom molotov di depan Gereja Oikumene, Jalan Cipto Mangunkusumo Nomor 32, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur, pada Ahad, 13 November 2016.
Ledakan ini menyebabkan empat anak menderita luka-luka. Mereka adalah Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (5), Trinity Hutahayan (3), dan Anita Isabel Sihotang (2). Setelah dirawat beberapa hari, Intan meninggal dunia di rumah sakit.
Pelaku bom molotov tersebut bernama Juhanda, 32 tahun. Juhanda pernah mendekam di penjara selama 3,5 tahun karena terlibat kasus bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tangerang pada 2011. Ia merupakan anggota kelompok pelaku teror bom buku di Jalan Utan Kayu dan bom di Puspitek yang dipimpin Pepi Fernando. Adapun Pepi divonis 18 tahun penjara pada Maret 2012.
REZKI ALVIONITASARI