TEMPO.CO, Blora - Layanan transportasi umum di Kabupaten Blora nyaris punah. Survei Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, mencatat jumlah armada sangat minim, beberapa rute layanan pun hilang. Penumpangnya hanya pelajar dan penduduk yang pergi ke pasar.
Waktu layanan angkutan pedesaan di sekitar kawasan perkotaan menurun drastis, hanya beroperasi pukul 05.00-14.00. “Dulu beroperasi hingga pukul 18.00,” kata Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, Kamis, 10 November 2016.
Sejumlah layanan rute dan armada musnah. Awalnya armada di Blora melayani 27 rute atau trayek, terdiri atas 25 bus sedang dan 176 mobil angkutan berkapasitas 12 penumpang. Kini, tinggal sepuluh rute. Rata-rata armada yang beroperasi kurang dari 30 persen.
Rute Blora-Ngawen tinggal tiga, dari sembilan armada sebelumnya. Rute Blora-Ngampel tinggal tiga dari 12 armada sebelumnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada rute Blora-Jepon, yang tinggal tiga armada dari 15 armada. Sedangkan rute Blora-Banjarejo punah. Padahal rute itu pernah dilayani 12 armada.
Survei juga mencatat layanan pulang-pergi angkutan itu sekitar 2-4 kali. “Namun rata-rata melayani tiga kali,” ujarnya. Layanan tertingginya adalah rute Jepon-Blora. Tarif angkutan itu Rp 3.000 untuk umum dan Rp 1.000-2.000 bagi pelajar.
Menurut Djoko, minimnya layanan angkutan umum itu disebabkan maraknya penggunaan angkutan pribadi, dalam hal ini sepeda motor yang sangat mudah didapat. Hal ini membuat pengelola angkutan umum sulit mengembangkan usaha. Pengelola angkutan umum merugi karena minat pengguna angkutan terus menurun.
Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Tengah Edhi Sugiri membenarkan hasil survei itu. Menurut dia, Blora adalah salah satu daerah yang angkutan umumnya terancam tutup karena ditinggalkan publik. “Mereka (pengusaha angkutan umum) sulit bertahan karena kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi,” tutur Edhi.
Edhi berharap kondisi layanan transportasi publik di Blora menjadi perhatian pemerintah dengan cara memberikan subsidi bagi pengelola angkutan umum. Kondisi itu dinilai penting karena pengguna angkutan umum hanya pelajar dengan tarif separuh harga. “Tarif pelajar itu merugikan. Tak cukup untuk menutup biaya operasional.” Ia berharap pemerintah memberikan subsidi khusus untuk angkutan umum yang masih bertahan, yang hanya digunakan pelajar dan pedagang kecil.
EDI FAISOL