TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia mendorong pemerintah berani mencabut izin lingkungan Pulau C, D, dan G di Teluk Jakarta. PT Kapuk Naga Indah adalah pengembang Pulau C dan D, sementara PT Muara Wisesa Samudra di Pulau G.
"Pengembang tiga pulau tersebut tak memiliki KLHS, selain masa 120 hari penghentian sementara yang telah terlampaui," kata Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan, KNTI, Marthin Hadiwinata, Kamis, 3 November 2016.
Menurut Martin, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diklaim telah dibuat pengembang, tidak pernah melibatkan masyarakat dan hasilnya tak pernah disampaikan. Kami minta, ujarnya, prioritaskan mencabut izin reklamasi Pulau G karena berhadapan langsung dengan nelayan.
Marthin menyitir isi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di sana, disebutkan bahwa pencabutan izin lingkungan bisa dilakukan jika pengembang tak melaksanakan perintah Kementerian yang telah ditetapkan dalam waktu tertentu.
Memang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih memberi waktu kepada pengembang Pulau C, D, dan G untuk memperbaiki administrasi reklamasi hingga Desember 2016.
“Kalau tak juga memenuhi kewajibannya baru dikenai sanksi pencabutan izin lingkungan,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani. Dia menjanjikan sanksi yang lebih berat itu lewat pesan elektronik yang dikirimnya pada Kamis, 3 November 2016.
Rasio merujuk kepada PT Kapuk Naga Indah di Pulau C dan D, serta PT Muara Wisesa Samudra di Pulau G. Ketiga pulau termasuk yang pernah mendapat catatan karena beberapa pelanggaran reklamasi. Bahkan proyek reklamasi Pulau G sempat dinyatakan dihentikan sebelum akhirnya ketetapan itu dicabut kembali.
Mei 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan sanksi administratif penghentian sementara atau moratorium yang berlaku selama 120 hari bagi Kapuk Naga dan Muara Wisesa. Keduanya, di antaranya, diperintahkan untuk menjelaskan sumber dan jumlah material pasir uruk yang digunakan untuk mereklamasi pulau.
Selain itu, memperbaiki kajian prediksi dampak; mitigasi sumber material uruk; mengubah izin lingkungan; serta memperbaiki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Kementerian juga mensyaratkan kedua perusahaan menyesuaikan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pulau reklamasi yang sudah pernah dibikin dengan kajian National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Tapi masa sanksi 120 hari lebih dulu berakhir daripada rampungnya kajian Bappenas soal NCICD atau yang lebih populer sebagai tanggul raksasa itu. Kajian saat ini masih di tangan Presiden.
Menurut Rasio, perpanjangan masa pemenuhan syarat administratif lalu diperpanjang agar Kapuk Naga dan Muara Wisesa bisa segera menyesuaikan izin lingkungannya dengan kajian tanggul laut itu. Waktu yang tersisa untuk pemenuhan itu kini hanya satu bulan ke depan.
“Perubahan izin lingkungan itu harus memperhatikan dampak lingkungan, kepentingan sosial, aktivitas nelayan, dan keberadaan obyek vital di sekitar pulau reklamasi,” katanya.
Alvin Andronicus, General Manager Pemasaran Agung Podomoro Land, induk perusahaan dari Muara Wisesa, mengatakan akan memanfaatkan masa perpanjangan yang diberikan Kementerian. “Kami akan mengoptimalkan waktu yang ada,” tuturnya.
Tidak ada perwakilan dari Kapuk Naga yang merupakan bagian dari grup Agung Sedayu yang bersedia memberikan tanggapan kepada Tempo.
GANGSAR PARIKESIT | DANANG FIRMANTO