TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, menilai langkah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian membuka gelar perkara kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, kurang tepat.
Sabtu malam, 5 November 2016, Tito mengatakan akan menyiarkan proses gelar perkara kasus itu secara langsung ke masyarakat.
Mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009, Bivitri mengatakan poin transparansi memang muncul di sana. "Tapi saya pikir tidak boleh diartikan terbuka untuk umum. Karena banyak prosedur internal, dalam penyelidik penyidikan itu domainnya bukan umum, bukan (untuk) publik," kata Bivitri saat dihubungi Tempo, Minggu, 6 November 2016.
Hasil dari penyidikan atau penyelidikan, menurut Bivitri, tidak bisa begitu saja dibuka untuk umum. Isi penyidikan atau persidangan bisa dibuka seluruhnya ketika masuk ke persidangan. Sedangkan dalam kasus yang Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri baru sebatas memeriksa saksi dan saksi ahli.
"Kalau terbuka dan belum sampai tahap pengadilan, baru tahap pemeriksaan saksi dan ahli, tapi sudah dibuka, ini bahaya sekali. Bisa jadi nanti pressure kepada kepolisian besar sekali," kata Bivitri.
Kasus yang menjerat Ahok, sapaan akrab Basuki, Bivitri menilai, sangat sarat akan muatan politisnya. Karena itu, dengan menyiarkan gelar perkara secara langsung, peluang pihak kepolisian terbawa opini publik sangat besar.
Bivitri mencontohkan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso. Dalam kasus yang disiarkan secara besar-besaran di media itu, ia menilai para penegak hukum dan hakim terbawa opini publik.
"Kasus Jessica tak terlalu kontroversial secara politik. Sedangkan ini sangat kontroversial dengan adanya demonstrasi ratusan ribu orang kemarin (demonstrasi 4 November)," katanya.
Karena tekanan politiknya bisa sangat besar, menurut Bivitri, pada akhirnya, langkah Kapolri itu malah bisa menimbulkan kekacauan dan merusak sistem hukum pidana. Ia pun mengkhawatirkan langkah seperti ini justru akan terus dilakukan terus-menerus ke depan.
"Ke depan, bisa seperti ini terus. Ini bisa merusak sistem," katanya.
Bivitri mengatakan Kapolri seharusnya tidak menafsirkan instruksi Presiden Joko Widodo untuk membuka kasus ini, dengan cara menyiarkan gelar perkara secara langsung. Langkah yang bisa diambil, menurut Bivitri, adalah dengan menggelar konferensi pers tiap seusai gelar perkara.
"Jadi ketahuan progresnya seperti apa," katanya.
EGI ADYATAMA