TEMPO.CO, Jakarta - Alumnus Universitas Nasional Australia, Gregorius Neonbasu, mendesak Presiden Joko Widodo mengangkat isu pencemaran Laut Timor sebagai bagian dari agenda pembicaraan dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull di Australia dalam kunjungannya pada November 2016.
"Agenda tersebut menjadi sangat penting untuk mendukung upaya hukum 13 ribu petani rumput laut asal Nusa Tenggara Timur di Pengadilan Federal Australia yang menjadi korban pencemaran," katanya di Kupang, Rabu, 2 November 2016.
Tumpahan minyak mentah bercampur bubuk kimia sangat beracun mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor. Tumpahan ini terjadi akibat dari meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
Neonbasu mengatakan pertemuan Jokowi-Malcolm adalah momen yang tepat untuk menyelesaikan persoalan Laut Timor itu. Saat ini, kata dia, sebanyak 13 ribu petani rumput laut sedang mengajukan gugatan class action terhadap PTTEP Australasia di Pengadilan Federal Australia, Sydney, sejak 22 Agustus 2016.
"Masalah rumput laut itu persoalan kecil, masih ada persoalan yang lebih besar lagi yang harus dibicarakan Jokowi-Malcolm, seperti restorasi wilayah perairan Laut Timor, kerusakan ekosistem laut, dampak kesehatan yang dialami masyarakat pesisir dan nelayan NTT, serta sebuah preseden dalam kasus ini sangat penting bagi kedua negara," kata dia.
Pengurus Pusat Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Dwi Soetjipto mengatakan akan menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Ia akan membahas masalah kemaritiman, termasuk pencemaran minyak di Laut Timor. Menurut dia, pembangunan kemaritiman harus memprioritaskan perlindungan sosial maupun lingkungan laut.
"Pembangunan maritim harus berorientasi kepada kemakmuran ekonomi dan sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan nasional," kata Dwi Soetjipto.
YOHANES SEO