TEMPO.CO, Balikpapan - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menanggung seluruh biaya perawatan Humaida, 41 tahun, penderita penyakit Vegatative State, kerusakan jaringan otak kronik yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh organ tubuhnya. Hal itu diketahui setelah salah seorang anak Humaida, Ahmad Januar, bertemu Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak.
“Pak Awang memberikan memo untuk disampaikan langsung kepada Direktur Rumah Sakit AW Sjahranie di Samarinda,” kata Januar saat dihubungi Tempo, Selasa, 1 November 2016.
Menurut Januar, ia memberanikan diri menemui Awang. Tujuannya menuntut keadilan atas kondisi ibunya yang sudah mengalami mati suri selama lima tahun enam bulan. “Ternyata Pak Gubernur bersedia saya temui,” ujarnya.
Januar menjelaskan, dalam pertemuan itu Awang Faroek meminta agar Humaida segera dipindahkan ke Rumah Sakit AW Sjahranie guna memperoleh penanganan intensif. Awang memastikan seluruh biaya peratawan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. “Ambulan yang membawa ibu saya dari Paser ke Samarinda juga ditanggung,” ucap Januar.
Januar mengisahkan, ibunya tergolek tidak berdaya di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten Paser. Tidak ada lagi penanganan medis diberikan kepada Humaida. “Hanya bapak saya yang setiap hari memberikan perawatan, seperti menyuapi makan bubur lewat selang setiap tiga jam sekali. Termasuk memandikan dan membuang kotoran ibu,” tuturnya. Ayah Januar bernama Abdul Muthalib.
Setelah mendapatkan uluran tangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Januar merisaukan nasib tiga orang adik adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada yang menarawat mereka di Paser karena Sang Ayah akan menemani Humaidah di Rumah Sakit AW Sjahranie di Samarinda.
Januar berharap Pemerintah Kabupaten Paser berinisiatif untuk turut berperan dalam membantu perawatan adik-adiknya selama proses pengobatan ibunya di Samarinda. Januar dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sikap, surat menyurati Pemerintah Kabupaten Paser ihwal permohonan bantuan itu. “Sudah kami surati Pemkab Paser guna meminta perhatian dari mereka soal keluarga pasien,” kata Sekretaris LBH Sikap Eben Marwi.
Eben mengatakan, permasalahan keluarga Humaida, sudah seharusnya mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten Paser, yag selama ini dinilai pasif. Padahal keluarga Humaida sempat putus asa.
Bahkan pihak keluarga sempat mengajukan permohonan eutanasia atau suntik mati terhadap Humaida. Hidup Humaida sepenuhnya tergantung bantuan orang lain, termasuk untuk menelan makanan, minuman hingga membuang kotoran.
Sejak Humaida menderita penyakit berat itu, LBH Sikap yang memberikan pendampingan, termasuk advokasi. Di antaranya saat mengadukan masalah itu kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Timur. Juga melaporkannya kepada Pimpinan Pusat Muhamaddiah.
Humaida menderita penyakit vegetative state pasca menjalani operasi steril di Klinik Muhamaddiah Paser lima tahun lalu. Dokter Klinik Muhamaddiah Paser Ferdinando mengakui Humaida sebagai salah seorang pasien yang sempat ditanganinya. “Iya memang (pasiennya),” ujarnya.
Ihwal pemindahan Humaida ke Samarinda, Ferdinando menyatakan kesiapannya berkoordinasi dengan tim medis RS AW Sjahranie, Samarinda. Dia mengatakan Humaida masih berpeluang sembuh dengan cara mengkonsumsi obat-obatan perangsang otak dan berbagai program terapi akan diterapkan di RS AW Sjahranie. “Ada kasus dengan pasien seperti ini (Humaida), bisa sembuh berkat obat dan program terapi,” ucap Ferdinando.
Penderitaan yang dialami Humaida bermula saat perempuan akan melahirkan anak ke-5 di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten Paser. Namun, rumah sakit milik pemerintah daerah itu merujuk Humaida ke Klinik Muhamaddiah guna menangani proses kelahirannya.
Proses kelahiran yang dilakukan secara normal berjalan lancar. Bayi perempuan yang dilahirkan diberi nama Nabira. Saat itu salah seorang perawat menyarankan dilakukannya operasi sterilisasi guna mengendalikan kehamilan Humaida. Namun, pasca operasi sterilisasi, Humaida mendadak kejang-kejang hingga detak jantung sempat berhenti selama 30 menit. Beberapa hari kemudian Humaida mengalami Vegatative State.
Pihak keluarga mempermasalahkan cara kerja para medis di Klinik Muhamaddiah Paser, yang dinilai terlambat melakukan tindakan medis sehingga berujung pada kerusakan jaringan otak Humaida. “Perawat hanya manggil-manggil ibu saya. Setidaknya selama 30 menit ibu saya gagal jantung seharus minta bantuan dokter,” kata Januar.
Dari Klinik Muhammadiyah, Humaida, dipindahkan ke RSUD Kabupaten Paser. Suami Humaida terpaksa harus meninggalkan pekerjaanya demi membantu kebutuhan sehari-hari istrinya. “Keluarga kami sudah habis-habisan selama merawat ibu saya,” ucap Juanuar.
SG WIBISONO