TEMPO.CO, Surabaya - Universitas Airlangga (Unair) menjalin kerja sama dengan pemerintah Australia Barat untuk mengembangkan pendidikan inklusif bagi mahasiswa tunarungu dan tunanetra. “Sehingga, mahasiswa yang tuli dan buta akan terfasilitasi dengan model-model pendidikan yang inklusif,” ujar Rektor Unair Mohammad Nasih kepada wartawan seusai kuliah umum Duta Besar Australia Paul Grigson di Kampus C Unair, Senin, 31 Oktober 2016.
Model pendidikan inklusif akan diperkuat dengan instrumen pendukung, seperti mekanisme transfer ilmu, kesiapan instruktur, ataupun fasilitas lain. “Kami siapkan instrumen, fasilitas, dan terutama para instrukturnya,” tuturnya.
Nasih menambahkan, dengan model itu, mahasiswa yang tunarungu dan tunanetra tak memerlukan lagi kelas khusus. Sehingga, mereka bisa kuliah dengan mahasiswa normal dengan metode atau tambahan model pengajaran tertentu. “Nanti, kami dorong dan siapkan terus menuju universitas yang inklusif,” ujarnya.
Unair menargetkan instrumen bagi mahasiswa tunarungu dan tunanetra itu siap pada 2018. Target perlu segera diwujudkan mengingat semakin banyak mahasiswa tunarungu dan tunanetra potensial yang menuntut ilmu di Unair. Salah satunya ialah mahasiswa program studi Antropologi, Alfian Andhika Yudhistira. “Mereka juga punya hak untuk memperoleh pendidikan,” kata Nasih.
Unair, lanjut Nasih, telah lama menjalin kerja sama dengan pemerintah dan kampus-kampus Australia Barat dalam hal pendidikan formal. Mulai gelar ganda (double degree), pertukaran mahasiswa, hingga pengiriman staf untuk belajar di sana.
Doktor bidang ekonomi itu menyebutkan sebanyak 77 dosen Unair adalah lulusan universitas-universitas di Australia. “Yang sekarang masih tinggal di sana kira-kira 15 staf yang sedang menempuh pendidikan,” ucapnya.
ARTIKA RACHMI FARMITA