TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ada tiga kebijakan pokok masa lalu yang menghalangi kemajuan ekonomi Indonesia. "Ada tiga kebijakan pokok yang menyebabkan kita ini terhalang kemajuannya," ucap Kalla saat menjadi pembicara kunci dalam seminar Tempo Economic Briefing, Kamis, 27 Oktober 2016, di Hotel Westin, Jakarta. Ini membuat Indonesia tidak semaju negara jiran, seperti Malaysia dan Thailand.
Pertama adalah kesalahan menangani krisis ekonomi 1998 melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kalla mengatakan ongkos yang ditanggung sangat besar, yaitu Rp 600 triliun atau setara nilai sekarang hampir Rp 3.000 triliun. "Kesalahannya hanya satu, mempercayai, men-guarantee semua yang salah.” Jadi semua orang melakukan penggelembungan atau merampok dari kebijakan yang dibuat saat itu.
Kesalahan kedua, memboroskan sumber daya alam melalui subsidi. Kalla berujar, situasi ini mirip dengan Venezuela yang memberi subsidi sangat besar pada bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyatnya. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia mensubsidi hampir Rp 1.500 triliun. "Yang terbesar itu pada, maaf, kabinet sebelum ini.” Sedangkan kabinetnya tiga kali menaikkan harga BBM. “Kami keras," tutur Kalla.
Kebijakan ketiga yang dianggap keliru adalah menata pemerintahan dari sentralistik ke otonomi. Tapi, ucap Kalla, perubahan sistem itu tidak dikelola birokrasi secara efisien. Ini menyebabkan ongkos birokrasi hari ini lebih mahal tujuh kali lipat dibanding sepuluh tahun lalu.
Kalla mengatakan kesalahan tiga kebijakan itu membuat struktur belanja dalam APBN bergeser. Saat Orde Lama, biaya pembangunan mencapai 50 persen. Sekarang belanja modal dan barang itu tidak lebih dari 50 persen. Belanja modal hanya sekitar 9 persen. Padahal belanja modal dan barang yang sebenarnya bisa mendorong pertumbuhan. “Multiplier effect yang bisa menumbuhkan," ujar Kalla.
Pemerintah saat ini sudah mengkoreksi semua kebijakan keliru itu. Kalla mencontohkan kebijakan di bidang perbankan. Saat ini, kondisi apa pun yang terjadi pada bank diserahkan kepada bank, tidak ada urusannya dengan pemerintah. "Mau bangkrut, bangkrutlah," tuturnya. Pemerintah tidak akan lagi memberi dana talangan (bailout). Bila ada bank yang rusak, tanggung jawabnya ada pada pemegang saham, tidak ada lagi urusan dengan Bank Indonesia dan pemerintah. “Karena itulah yang menyebabkan kita ditipu mentah-mentah menghabiskan uang."
Begitu juga penurunan subsidi, misalnya subsidi listrik dan BBM. Kalla mengatakan sebelumnya subsidi listrik mencapai Rp 100 triliun, sementara saat ini sekitar Rp 40 triliun. "Jadi ini sudah dua (yang) dihindari. Biaya birokrasi yang agak tinggi," ujar Kalla.
AMIRULLAH