INFO MPR - Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dan Ketua Fraksi PDIP MPR RI Ahmad Basarah sangat menyayangkan dalam situasi bangsa yang tengah menghadapi propaganda anti-SARA, banyak elite politik yang tidak mau lagi bicara dan memberi teladan tentang nilai-nilai Empat Pilar sebagai konsensus dasar bernegara.
“Karena itu, saya mengusulkan kepada Pimpinan MPR untuk mengambil prakarsa dan mengajak pimpinan lembaga-lembaga negara dan pimpinan partai politik, serta ormas-ormas sosial keagamaan untuk duduk bersama, melakukan rembuk nasional untuk menghentikan segala macam pertentangan dan propaganda SARA. Karena situasi semacam ini sungguh-sungguh telah mengancam keutuhan dan keberlangsungan hidup NKRI yang berdasarkan Pancasila,” ujar Basarah dalam ceramahnya pada acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan PGRI Kota Bogor di Gedung Universitas Terbuka, Kota Bogor, Selasa, 25 Oktober 2016.
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI berisi tentang empat nilai luhur yang telah menjadi konsensus dasar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem budaya dan semboyan bangsa Indonesia.
Pada tataran wacana, sosialisasi Empat Pilar yang dibiayai APBN ini, dikampanyekan dengan antusias oleh para elite politik. “Mereka semua berbicara tentang perlunya kita semua memegang teguh nilai-nilai konsensus dasar negara tersebut. Namun, ketika mereka terjebak dalam suatu perebutan kekuasaan politik tertentu, kadang kala membuat mereka lupa dengan nilai-nilai Empat Pilar tersebut,” tutur Basarah.
Salah satu momen yang sering membuat elite politik melupakan konsensus nasional nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah pada setiap diadakannya pemilihan presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Sebagai contoh, pada pemilihan presiden tahun 2014, elite politik dan berbagai kelompok masyarakat banyak yang terjebak mengkampanyekan isu anti-SARA atau setidak-tidaknya mendiamkan kampanye anti-SARA tersebut terjadi. “Demikian juga kita perhatikan dalam pilkada DKI Jakarta. Isu tentang anti-SARA mendominasi seputar pemilihan cagub dan cawagub DKI daripada kompetisi gagasan dan program untuk membangun Kota Jakarta,” ucap Basarah.
Padahal konsensus dasar yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila sudah sangat jelas bahwa dalam negara Pancasila tidak boleh ada ketidakadilan yang bersifat diktator mayoritas ataupun tirani minoritas. Juga mengenai segala warga negara, bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan telah dijamin pasal 27 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Aksi-aksi diskriminatif atas nama ikatan primordial, seperti suku, agama, ras, dan golongan, sebenarnya tidak lagi relevan ketika dibenturkan dalam konsep berbangsa dan bernegara. Loyalitas primordial hendaknya sudah berubah menjadi loyalitas nasional ketika bersepakat membentuk negara. Kesadaran kebangsaan yang mengkristal yang lahir dari rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan telah berhasil membentuk wawasan kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928, yaitu bertekad bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. “Tekad bersatu ini kemudian dinyatakan secara politik sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menegaskan negara yang kita bentuk adalah Negara Semua untuk Semua bukan Negara untuk Satu Golongan," katanya. (*)