TEMPO.CO, Surabaya - Bekas pentolan Moro Islamic Liberation Front Ali Fauzi mengatakan serangan teroris tetap menjadi ancaman terbuka bagi Indonesia meskipun beberapa selnya telah diputus oleh aparat. Menurut adik kandung terpidana mati kasus bom Bali I Ali Ghufron dan Amrozi ini, dalam peta jaringan teror di Indonesia saat ini, masih terdapat tiga playmaker yang dia nilai mampu membangun sel-sel baru.
Tiga orang itu ialah Aman Abdurrahman, Ali Kalora dan Bachrumsyah. Aman, yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kata Ali, punya peran penting dalam beberapa serangan teror sporadis yang belakangan terjadi. Dua di antaranya, kata dia, ialah serangan di Kepolisian Resor Kota Solo oleh Nur Rohman dan di pos polisi lalu lintas Cikokol, Kota Tangerang, yang dilakukan Sultan Azianzah.
“Seperti halnya peredaran narkoba, teroris pun dikendalikan dari penjara. Dalam hal ini Aman masih berperan,” kata Ali dalam kegiatan pelatihan bertema ‘Penguatan Perspektif Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media’ di Surabaya, Minggu, 23 Oktober 2016.
Setelah Aman, menurut Ali Fauzi, Ali Kalora, yang merupakan penerus Santoso dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulawesi Tengah juga patut diwaspadai. Setelah Santoso tewas, sejatinya Basri yang disiapkan menjadi penerus. Namun setelah Basri dibekuk aparat, Kaloralah sekarang memegang komando. “Memang anggota Majelis Mujahidin Indonesia Timur makin sedikit, tapi dalam perang gerilnya, makin sedikit orang makin sulit dideteksi,” kata dia.
Adapun Bachrumsyah, yang diduga masih berada di Suriah, juga berbahaya karena dideteksi menyokong dana dalam sejumlah operasi teror di Indonesia, salah satunya bom di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta awal tahun ini. “Kasus teror di Polresta Solo, Gereja Santo Yosep Medan dan pos polisi Tangerang yang dilakukan anak-anak muda menjadi bukti bahwa perekrutan teroris jalan terus,” katanya.
Peneliti Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Sholahudin menambahkan potensi ancaman teror kian besar karena di antara tokoh-tokoh kunci teroris saat ini, yakni Aman Abdurrahman, Bahrun Naim dan Abu Jandal terlibat persaingan terbuka meskipun awalnya sama-sama berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri dan bersaing mencari perhatian lewat aksi teror,” katanya.
Bahrun Naim dan Abu Jandal yang masih berada di Suriah, ujar Sholahudin, semula berpartner. Namun dalam perjalanannya mereka pecah kongsi karena Bachrun Naim mendirikan Katibah Nusantara. Sholahudin mencontohkan serangan bom Thamrin yang diduga diotaki Bahrun Naim tidak direspon baik oleh Abu Jandal. “Abu Jandal melarang anak buahnya ikut-ikut,” katanya.
Anggota Dewan Pers Nezar Patria menilai pemberitaan teror dengan porsi amat besar di media massa justru bisa menjadi etalase bagi teroris untuk menggandakan serangan mereka demi target tertentu. Bagi teroris, kata Nezar, pemberintaan dengan porsi besar justru sarana ‘kampanye.’ “Terutama untuk media televisi,” katanya.
Menurut Nezar operasi teror sengaja diarahkan kelompok radikal agar menarik perhatian publik. Aksi teror juga dipakai sebagai sarana merekrut lebih banyak pengikut. “Media berperan penting untuk mencapai dua hal itu,” katanya.
KUKUH S. WIBOWO