TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berencana menggelar unjuk rasa damai di kawasan Tugu Monas, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2016.
Aksi rencananya diikuti utusan anggota IDI cabang, wilayah, dan perhimpunan dari seluruh Indonesia. Mereka menuntut reformasi sistem kesehatan dan pendidikan kedokteran agar pro rakyat.
Ketua IDI Daeng Mohammad Faqih mengatakan tuntutan utama pada unjuk rasa itu adalah dokter layanan primer. Ia menilai program itu salah sasaran, pemborosan uang negara, memperlama pendidikan dokter, marginalisasi dokter yang sudah ada, dan menciptakan kasta baru dokter yang bisa memicu konflik.
Menurut Daeng, program dokter layanan primer merupakan diskriminasi terhadap kelompok dokter tertentu. “Dokter layanan primer bukan jawaban masalah urgen yang terjadi selama ini di bidang pelayanan kesehatan,” katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 21 Oktober 2016.
Daeng justru meminta pemerintah lebih fokus pada program prioritas. Di antaranya mengatasi minimnya alat kesehatan, kekosongan obat, persoalan obat palsu, juga sarana-prasarana puskesmas serta rumah sakit yang masih minim. Termasuk mengatasi kekosongan dokter di banyak puskesmas.
Baca: Ini yang Terjadi Saat Ayu Ting Ting Bertemu Nagita Slavina
Daeng mengatakan, meskipun menggelar aksi, IDI tetap mengimbau para dokter tetap mengedepankan pelayanan publik. Unit pelayanan yang tidak boleh ditinggalkan adalah UGD, ICU, ICCU, ruang operasi, persalinan, perawatan, serta pelayanan primer yang perlu tindakan gawat darurat.
Ketua IDI DKI Jakarta Slamet Budiarto mengatakan ada beberapa tuntutan pada unjuk rasa itu. Selain menolak program pendidikan dokter layanan primer, dia meminta pemerintah mengendalikan biaya pendidikan kedokteran, perbaiki regulasi pro jaminan kesehatan nasional, hapuskan pajak obat dan alat kesehatan, serta revisi undang-undang pendidikan dokter.
Ihwal program dokter layanan primer, IDI menolak lantaran biaya yang dibebankan dirasa berat. Awalnya, sekolah dokter layanan primer selama tiga tahun memakai dana pemerintah. “Namun saat ini harus membayar sendiri untuk mendapatkan gelar setara dan bukan spesialis,” ujar Slamet.
Salah seorang dokter spesialis, Dharmawan, mengatakan undang-undang pendidikan dokter pun tidak pro rakyat. “Terlihat dengan kasus dari internship banyak yang meninggal,” ucapnya, seraya mengatakan gaji yang diterima pun hanya sekitar Rp 3 juta.
DANANG FIRMANTO