TEMPO.CO, Jakarta - Pada Minggu, 16 Oktober 2016, Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, dan Laode M. Syarif genap 300 hari menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di bawah pimpinan jilid IV ini, KPK menggelar 13 operasi tangkap tangan (OTT).
OTT pertama dilakukan terhadap anggota Komisi V DPR RI dari PDI-P Damayanti Wisnu Putranti pada 13 Januari 2016. Ia ditangkap bersama Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir, serta dua rekan Damayanti, yaitu Dessy A. Edwin serta Julia Prasetyarini. Keempatnya menjadi tersangka dugaan korupsi proyek dana aspirasi pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara dengan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dalam pengembangan penyidikan, KPK juga menetapkan anggota Komisi V dari Fraksi Golkar Budi Supriyanto dan dari Fraksi PAN Andi Taufan Tiro sebagai tersangka, sedangkan dari Kementerian PUPR ada Kepala Balai Badan Pembangunan Jalan Nasional IX wilayah Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary ikut menjadi tersangka.
OTT kedua pada 12 Februari 2016. KPK menangkap Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna, pengusaha Ichsan Suaidi dan pengacaranya, Awang Lazuardi Embat. Perkara ini adalah dugaan suap penundaan pengiriman salinan kasasi Ichsan yang divonis lima tahun penjara oleh MA.
Ketiga, pada 31 Maret 2016, KPK menangkap Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno, serta pengusaha Marudut Pakpahan. Ketiganya diduga akan menyuap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu sebesar Rp 2 miliar terkait penyelidikan dugaan korupsi yang dilakukan PT Brantas.
Sudi, Dandung, dan Marudut sudah dinyatakan terbukti bersalah sebagai penyuap, tapi KPK hingga saat ini belum menetapkan tersangka penerima suap, meski sudah memeriksa Sudung dan Tomo di tingkat penyidikan ataupun penuntutan.
Keempat, masih pada 31 Maret 2016, KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Personal Assistant PT Agung Podomoro Land (APL) Trinanda Prihantoro. Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja kemudian juga menyerahkan diri. Ariesman dituding menyuap Rp 2 miliar pada Sanusi untuk mempercepat pembahasan rancangan peraturan derah reklamasi Teluk Jakarta.
Meski mengkategorikan koruspi ini sebagai grand corruption, KPK tampak berhenti mengusut kasus ini hanya sampai pada Ariesman dan Sanusi. Pendiri Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dan staf khusus Gubernur Ahok, Suny Tanuwijaya, yang sempat dicekal, akhirnya tidak diperpanjang masa pencegahannya ke luar negeri.
Kelima, berselang tidak sampai dua pekan, KPK melakukan OTT kepada Bupati Subang Ojang Sohandi pada 11 April 2016. Ia diamankan bersama dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Jajang Abdul Holik, dan istri Jajang, Lenih Marliani.
Ketiganya disangka menyuap Jaksa Kejati Jabar yang menangani perkara itu, yakni Devianti Rochaeni dan Fahri Nurmalo. Dalam pengembangannya, Ojang juga disangkakan menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Keenam, pada 20 April 2016, KPK melakukan OTT terhadap panitera Pengadilan Jakarta Pusat Edy Nasution. Ia disangkakan menerima suap Rp 150 juta dari pengusaha Doddy Aryanto Supeno untuk mengurus tiga perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat.
KPK pun sudah menggeledah rumah Sekretaris MA Nurhadi, tapi KPK tampak kehilangan arah karena tidak kunjung menemukan supir Nurhadi bernama Royani yang menjadi penghubung kegiatan Nurhadi selama ini.
KPK juga tidak menemukan komisaris Lippo Grup Eddy Sindoro yang dalam setiap pemeriksaan saksi di penyidikan dan penuntutan disebut sebagai orang yang paling punya inisiatif dalam mengatur perkara di pengadilan dan MA.
Ketujuh, masih terkait tubuh pengadilan, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, Panitera Pengganti PN Bengkulu Badarudin Bacshin, Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Toton, mantan Kabag Keuangan RS M. Yunus Safri Safei, dan mantan Wakil Direktur Umum, serta Keuangan RS M.Yunus Edi Santoni pada 23 Mei 2016.
Hakim Janner dan Toton diduga menerima Rp 780 juta dalam perkara tipikor terkait honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Kota Bengkulu TA 2011 yang melibatkan Edi Santoni dan Safri.
Kedelapan, KPK pada 15 Juni 2016 melakukan OTT terhadap kakak pedangdut Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah bersama pengacara Saipul Berthanatalia Ruruk Kariman dan Kasman Sangaji, dan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi.
Samsul, Bertha, dan Kasman diduga menyuap Rohadi sebesar Rp 300 juta untuk mengatur majelis hakim dan mengurangi putusan Saipul dalam perkara asusila. Dalam pengembangannya, KPK juga menetapkan Rohadi sebagai tersangka penerimaan gratifikasi karena ditemukan uang Rp 700 juta di mobil Rohadi saat OTT, padahal bukan dari Samsul cs.
Rohadi yang bergaji Rp 8 juta per bulan itu juga disangkakan tindak pidana pencucian uang karena memiliki sejumlah rumah mewah di Jakarta, rumah sakit, kapal, dan usaha rental mobil di Indramayu.
Kesembilan, pada 28 Juni 2016, KPK mengamankan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana bersama dengan staf ahlinya, Noviyanti, orang dekat Sudiartana Suhemi, Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Suprapto dan Pengusaha Yogan Askan.
Putu diduga menerima Rp 500 juta untuk meloloskan Dana Alokasi Khusus (DAK) kegiatan sarana dan prasarana penunjang tahun anggaran 2016 untuk provinsi Sumatera Barat. Dalam persidangan juga terungkap Rp 500 juta itu juga ingin disetorkan kepada Partai Demokrat.
Kesepuluh, staf Pengadilan Jakarta Pusat kembali tertangkap pada 30 Juni 2016. Kali ini, KPK melakukan OTT terhadap panitera Santoso bersama dengan staf Wiranatakusumah Legal & Consultant Ahmad Yani. Selanjutnya, pemilik firma hukum tersebut, yaitu Raoul Adhitya Wiranatakusumah menyerahkan diri.
Keduanya disangkakan menyuap sebesar 28 ribu dolar Singapura kepada dua hakim PN Jakarta Pusat Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya melalui Santoso..
Kesebelas, KPK menangkap Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, Kasubag Rumah Tangga Pemkab Banyuasin Rustami, Kepala Dinas Pendidikan Banyuasin Umar Usman, Kepala Seksi Pembangunan Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Banyuasin Sutaryo, Pengusaha Kirman, dan Pemilik CV Putra Pratama Zulfikar Muharrami pada 4 September 2016. Yan Anton disangka menerima Rp 1 miliar dari pengusaha untuk biaya ibadah haji bagi dirinya dan istrinya.
Keduabelas, KPK pada 17 September 2016 mengamankan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman bersama dengan Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi, karena diduga menerima Rp 100 juta sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi ke Bulog agar Xaverius dapat memperoleh jatah untuk gula impor di Sumatera Barat.
Selain ketiganya, KPK juga menetapkan Jaksa Kejati Sumbar Farizal sebagai tersangka karena diduga menerima Rp 365 juta dari Xaveriandy sebagai jaksa yang mengusut perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton, di mana Xaverius merupakan terdakwanya.
Ketigabelas, KPK mengamankan Ketua Komisi A DPRD Kebumen dari Fraksi PDIP Yudhy Tri Hartanto dan Pegawai Negeri Sipil Sigit Widodo karena diduga menerima Rp 750 juta terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen dengan total nilai proyek Rp 4,8 miliar.
Selain itu, KPK mengamankan empat orang lain yang masih berstatus saksi, yakni Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kebumen Dian Lestari, anggota DPRD Kebumen dari Fraksi PAN Suhartono, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kebumen Andi Pandowo, serta Direktur PT OSMA cabang Kebumen Salim.
Namun baru Yudhy dan Sigit yang ditetapkan sebagai penerima suap. KPK belum menetapkan pemberi suap dan baru menghimbau Direktur PT OSMA yang berada di Jakarta, Hartoyo, untuk datang ke KPK dan memberikan klarifikasi.
ANTARA