TEMPO.CO, Surakarta - Dengan hati-hati, para pegawai Klenteng Tien Kok Sie melipat dan merangkai kertas-kertas dupa (toa kim) berwarna kuning hingga menyerupai bunga teratai yang menjuntai di sela-sela lampion gantung. Siang itu, Senin, 17 Oktober 2016, salah satu klenteng tertua di Indonesia tersebut sedang merias diri menjelang peringatan Hari Makco Kwan She Im Poo Sat mencapai nirwana.
Klenteng Tien Kok Sie yang juga dikenal sebagai Vihara Avalokiteswara terletak di selatan Pasar Gede Kota Surakarta. Tempat ibadah Tridharma (Taoisme, Khonghucu, dan Budha) itu ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Wali Kota Surakarta pada 2014. Sebagian orang meyakini usia klenteng bercorak Budha itu tidak terpaut jauh dengan Keraton Surakarta Hadiningrat yang dibangun pada 1744.
“Sayangnya tidak ada prasasti atau dokumen resmi yang secara pasti menjelaskan ihwal kapan klenteng ini dibangun,” kata Humas Klenteng Tien Kok Sie, Chandra Halim kepada Tempo. Namun, berdasarkan catatan sejarah yang pernah ia baca, Halim meyakini pada 1780 klenteng Tien Kok Sie sudah eksis sebagai tempat peribadatan sekaligus tempat interaksi sosial warga Tionghoa.
Halim mengatakan, Klenteng Tien Kok Sie semula berada tak jauh dari Keraton Kartasura pada masa Sunan Paku Buwana (PB) II. Kala itu, warga Tionghoa yang sebagian berasal dari Semarang menjadi dukungan kekuatan bagi Keraton Kartasura untuk melawan VOC. Namun, setelah PB II berbalik mendukung VOC, warga Tionghoa pun melakukan perlawanan yang berujung pada hancurnya Keraton Kartasura.
Setelah PB II membangun Keraton Surakarta sebagai istana baru di Desa Sala, bandar kecil di tepi barat Bengawan Solo, warga Tionghoa juga meninggalkan Kartasura dan bermukim di utara Pasar Gede. “Pada zaman dulu, Sungai Pepe di belakang klenteng ini menjadi akses menuju Bengawan Solo yang menjadi jalur perdagangan utama dari Jawa Tengah ke Jawa Timur,” kata Halim.
Keberadaan altar Thian Siang Sing Bo atau dewi laut di Klenteng Tien Kok Sie bisa menjadi salah satu petunjuk bahwa Kota Surakarta pernah dikenal sebagai kota pelabuhan. “Kepada Dewi Laut, warga Tionghoa pada masa itu berdoa meminta perlindungan dari marabahaya saat berlayar,” kata Halim, alumnus jurusan ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Altar Thian Siang Sing Bo adalah satu dari 15 altar yang terdapat di klenteng Tien Kok Sie. Adapun altar utama untuk tuan rumah Makco Kwan She Im Poo Sat yang juga dikenal dengan nama Dewi Kwan Im. “Peringatan Makco Kwan She Im Poo Sat mencapai nirwana ini diselenggarakan pada Selasa dan Rabu, 18-19 Oktober,” kata pegawai klenteng, Harti, di sela kesibukannya merangkai kertas-kertas dupa.
DINDA LEO LISTY