TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata menyebutkan korupsi dan suap yang dilakukan sektor swasta mencapai 80 persen. Dari angka itu, 90 persen korupsi di daerah dilakukan dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
Menurut Marwata, korupsi dan suap yang terjadi karena swasta atau pengusaha kerap dipersulit. Sedangkan birokrat menerima suap karena merasa gajinya tidak cukup. “Ini lingkaran setan yang nggak akan habis-habis," katanya di kantornya, Jakarta, Senin, 17 Oktober 2016.
Untuk mencegah suap oleh swasta terjadi lagi, kini KPK bersama beberapa stakeholder mendeklarasikan gerakan profesional berintegritas. Gerakan ini bertujuan memberikan perhatian khusus terhadap sektor-sektor swasta agar tidak menyuap pejabat.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai mengatakan kerugian seluruh negara di dunia akibat korupsi mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 3.915 triliun per tahun. Sedangkan suap di negara-negara berkembang, kata dia, mencapai Rp 200-300 triliun per tahun.
Amzulian menjelaskan, suap kepada pejabat negara mayoritas dilakukan oleh sektor swasta karena buruknya pelayanan publik. "Penyebab suap adalah adanya penundaan. Kalau ada uang pelicin, lancar," katanya.
Aktivis Anti Corruption Watch (ACC) Danang Tri Sasongko mengatakan beberapa sektor bisnis mengalokasikan dana produksinya untuk menyuap pejabat negara. Ia mengatakan rata-rata pengusaha menyiapkan 10 persen hingga 30 persen dari total biaya produksi untuk menyuap para pemangku kebijakan.
Menurut Danang, pemerintah seharusnya proaktif untuk tidak memberikan peluang bagi dunia usaha menyuap mereka. “Tidak mungkin menunggu swasta berbenah diri. Dua-duanya harus bergandengan tangan dan masyarakat sipil harus ikut," katanya
MAYA AYU PUSPITASARI