TEMPO.CO, Yogyakarta – Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, dari Papua yang tertarik dengan seni rupa masih sedikit. Saat ini, jumlah mahasiswa dari Papua yang kuliah di Fakultas Seni Rupa, Jurusan Seni Rupa Murni, hanya satu orang.
“Mahasiswa Papua lebih banyak tertarik seni pertunjukan. Seni rupa murni sangat jarang,” kata dosen Fakultas Seni Rupa, ISI, Yogyakarta, Andre Tanama, saat ditemui Tempo dalam pembukaan Pameran Seni Rupa “Remahili” di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu malam, 15 Oktober 2016.
Andre mencontohkan, sebelumnya ada seorang mahasiswa Jurusan Seni Rupa Murni, ISI, Yogyakarta, dari Papua yang kuliah angkatan 1999. Kemudian mahasiswa asal Papua selanjutnya yang kuliah di sana diketahui baru ada lagi angkatan 2006 dan sekarang sudah lulus, yaitu Ignasius Dicky Takndare. Selanjutnya yang saat ini masih aktif sebagai mahasiswa ada satu orang yang masuk angkatan 2012, yaitu Albertho Wanma. Dua nama terakhir adalah seniman yang tengah berpameran di Bentara Budaya Yogyakarta hingga 23 Oktober 2016.
Baca:
Dikritik Istri, Presiden Nigeria: Dia Selayaknya di Dapur
Wanita di India Dilarang Miliki dan Gunakan Telepon Seluler
Baik Andre, maupun Dicky dan Albertho sepakat minimnya mahasiswa Papua yang tertarik pada seni rupa tak lepas dari paradigma berpikir masyarakat Papua secara umum. Bahwa menjadi perupa bukanlah jenis pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan. Meskipun potensi menjadi perupa yang dimiliki anak-anak Papua cukup besar.
“Akhirnya potensi itu hanya disimpan saja,” kata Dicky yang berasal dari Jayapura.
Dia teringat seorang teman masa kecilnya yang pandai melukis. Setiap kali mengikuti perlombaan melukis selalu menang. Dicky pun berusaha belajar menjadi pelukis dengan masuk sanggar hanya untuk mengalahkan temannya itu. Kini tak ada kabar berita tentang temannya itu.
“Kalau jadi seniman, dia pasti menjadi perupa yang hebat,” kata Dicky.
Beruntung bagi Albertho sendiri hidup dari keluarga seniman. Almarhum ayahnya adalah tokoh seniman adat Papua, khususnya di bidang seni musik. Albertho lebih menyukai seni rupa tiga dimensi, yaitu seni patung dan sempat kuliah di Sekolah Tinggi Seni Papua. Sebelum akhirnya hijrah ke Yogyakarta atas rekomendasi dosen di sana yang melihat bakat besar pada dirinya.
“Karena saya dan Dicky menganggap Yogyakarta dalah kotanya seni rupa di Indonesia,” kata Albertho.
Minimnya seniman asal Papua, khususnya di Yogyakarta menggugah keduanya untuk mengumpulkannya dalam wadah seniman. Tak harus yang kuliah di fakultas seni, karena total jumlahnya tak sampai lima orang di Yogyakarta. Bisa juga mahasiswa Papua yang kuliah di fakultas nonseni, tapi mempunyai potensi seni.
Mereka ingin mengembangkan potensi seni Papua yang ada pada diri mereka. Setelah sebelumnya ada kelompok seniman Papua di Yogyakarta dengan nama Ludah Pinang pada era 1990-an yang kini sudah menghilang.
“Semoga pameran ini jadi momentum agar semakin banyak perupa Papua yang muncul,” kata Albertho.
PITO AGUSTIN RUDIANA