TEMPO.CO, Jakarta -Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay mengatakan ada harapan dialog nasional untuk menyelesaikan masalah Papua terwujud di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Harapan ini muncul disebabkan rekam jejak Jokowi sebagai kepala pemerintahan di daerah sebelum menjadi presiden diwarnai dengan dialog tanpa kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah.
"Saat Jokowi menjadi wali kota Solo dan gubernur DKI. Presiden juga punya hati untuk Papua," kata Neles Tebay sebagai pembicara dalam seminar nasional bertajuk Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua:Updating Papua Road Map yang diadakan LIPI, Jumat, 14 Oktober 2016.
Baca:
Jokowi Melantik Jonan Jadi Menteri ESDM
FPI Ancam Bunuh Ahok, Ini Kata Kapolda Iriawan
Menurut Neles, sikap Jokowi yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah merupakan satu dari lima perubahan yang memberinya harapan dialog nasional mengenai masalah Papua dapat terwujud.
Perubahan lainnya, Neles mengatakan, Road Map yang digulirkan oleh LIPI dan Jaringan Damai Papua sejak tahun 2009 tidak mendapat dukungan. Muncul kecurigaan bahwa LIPI dan Jaringan Damai Papua tidak mendukung NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia).
"Detik ini, banyak pihak di Papua yang sudah memberikan dukungan terhadap dialog untuk mencari solusi terbaik," kata Neles, yang juga menjabat sebagai Rektor STF Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur di Abepura, Papua.
Sementara di Jakarta tidak ada kata dialog Papua muncul di media massa nasional sampai dengan awal 2009. Justru dialog nasional dicurigai sebagai tuntutan merdeka atau referendum Papua. "Dialog tidak diterima," ujar Neles.
Kemudian pada tahun 2010, pemerintah memunculkan istilah komunikasi konstruktif, menolak menggunakan istilah dialog nasional. Bahkan, kata Neles, pejabat yang dulu tidak mau membahas dialog nasional, sekarang mendorong juga ide dialog nasional Papua.
"Waktu Yoedhi (Mayor Jenderal TNI Yoedhi Swastono, Deputi I Koordinasi bidang politik dalam negeri Kemenko Polhukam) tidak ada ide dialog nasional. Setelah pak Yoedhi di Kemenko Polhuham ada ide dialog nasional," kata Neles tersenyum ke arah Yoedhi yang juga sebagai pembicara di acara ini.
Selanjutnya, Organisasi Papua merdeka (OPM) yang dulu terpecah-pecah dalam berbagai kelompok kemudian melakukan transformasi gerakan dan organisasi. OPM yang terpecah-pecah itu kemudian membentuk satu organisasi yang mengkoordinasikan seluruh OPM yang diberi nama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Organisasi ULMWP memiliki struktur yang jelas, alamat yang jelas, visi dan misi yang jelas.
"Perubahan ini memberi harapan bagi saya untuk adanya dialog nasional," kata Neles.
Menurut Neles, dengan perubahan-perubahan ini menunjukkan istilah dialog nasional yang dulu dipandang sensitif sekarang sudah tidak sensitif lagi.
Yoedhi mengatakan dirinya mendukung dialog nasional sebagai cara menyelesaikan masalah Papua. "Saya sependapat dialog nasional sebagai cara untuk menyelesaikan masalah di Papua," kata Yoedhi.
Pemerintah, Yoedhi menjelaskan, bahkan sedang membentuk satu badan yang powerful untuk mengkoordinasikan pembangunan di Papua agar lebih terintegrasi.
Yoedhi mengkoreksi pernyataan Ketua tim kajian Papua LIPI, Adriana Elisabeth yang mengatakan Presiden Jokowi tidak memiliki disain besar (grand design) dalam penyelesaian masalah Papua.
Yoedhi kemudian memaparkan sejumlah program yang dilakukan Jokowi di Papua di antaranya mendirikan 3 sekolah berasrama dengan mempertimbangkan kondisi geografis Papua. Pemerintah juga mengundang 27 profesor dari Amerika Serikat untuk membantu pendidikan di Papua. Bahkan rumah sakit pemerintah di Jayapura, Papua akan ditingkatkan menjadi rumah sakit berskala nasional.
Sedangkan untuk isu pelanggaran HAM di Papua, Yoedhi menjelaskan, Presiden Jokowi sudah membentuk tim terpadu HAM Papua yang melibatkan LIPI, Komnas HAM, dan aktivis. Tugas tim ini akan berakhir pada tanggal 22 Oktober 2016.
Namun Yoedhi mengakui sangat sulit mengklasifikasikan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM, dan pelanggaran kriminal. Meski begitu, ia mengatakan pemerintah segera menuntaskannya. "Kita harus segera menuntaskan itu," ujar Yoedhi.
Adriani Elisabeth secara khusus menyoroti perubahan cara memperjuangkan penyelesaian masalah di Papua dari generasi muda Papua. Mereka melakukan cara-cara damai, demokratis degan nasionalisme baru: Melanesia, anti-kolonialisme, dan humanisme. Perjuangan para generasi muda Papua ini meluas hingga ke luar negeri sehingga masalah pelanggaran HAM di Papua kini menjadi perhatian internasional.
Suara berbeda datang dari Kapolda Papua, Paulus Waterpau yang telah mengeluarkan maklumat untuk melarang tujuh organisasi yang didirikan generasi muda Papua untuk berdemonstrasi menyuarakan aspirasi mereka di tempat umum.
"Dalam menyampaikan pendapat di muka umum tentu punya hak dan kewajiban. Yang melanggar kewajiban ada sanksinya. Kewajiban itu adalah NKRI. Di luar itu, kami minta maaf. Kami alat negara yang ditugaskan untuk itu (mempertahankan NKRI)," kata Paulus.
Paulus juga menepis anggapan Papua tidak aman. "Pada prinsipnya situasi di Papua dan Papua Barat masih aman, kondusif terkendali," ujarnya.
MARIA RITA