TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu mantan anggota tim jaksa peninjauan kembali kasus kematian aktivis HAM Munir Said Thalib, Didik Farkhan mengatakan ada kemiripan antara kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan kasus kematian Munir. Menurutnya kedua kasus itu sama-sama kasus yang sulit pembuktiannya.
"Jaksa di dua kasus itu sama-sama sulit meyakinkan hakim bahwa itu kasus pembunuhan," ujar Didik kepada Tempo saat di kantornya, Rabu, 12 Oktober 2016.
Selain punya tingkat kesulitan tinggi, kedua kasus itu menggunakan racun sebagai alat kejahatannya. Kedua kasus itu juga sama-sama tidak ada saksi yang melihat langsung pembunuhannya serta minimnya teori motif adalah penyebabnya.
"Apalagi terdakwa di masing-masing tergolong orang yang tenang, selalu bisa berkelit dan beralibi," katanya.
Didik menceritakan pengalamannya saat sidang peninjauan kembali kasus kematian Munir saat persiapan sidang peninjauan kembali. Menurutnya saat itu usai Pollycarpus bebas dari dakwaan pembunuhan, pada saat kasasi penyidik langsung mencari bukti baru (novum) untuk bahan sidang PK.
Baca: Jessica Dituntut 20 Tahun, Jaksa: Pembuktian Mantap, Cuma...
Ada dua bukti yang ditemukan yaitu saksi mahasiswa Indonesia kuliah di Belanda. Dia melihat Pollycarpus dan Munir ngopi sama-sama di Coffee Bean, Bandara Changi, Singapura, saat transit.
Novum yang kedua adalah hasil uji salah satu laboratorium kriminal di Amerika terhadap sisa arsenik yang didapat dari tubuh Munir. Hasil tes menunjukkan arsenik masuk ke dalam tubuh Munir sembilan jam sebelum Munir meninggal. Ketika ditarik mundur sembilan jam sebelum Munir meninggal adalah bersama Pollycarpus sedang ngopi di Bandara Changi. "Dari dua fakta itu ada kesesuaian lahirlah petunjuk baru," ujarnya.
Saat sidang PK jaksa lebih banyak bertanya ke Pollycarpus soal fakta kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Pollycarpus sebelum berangkat ke Belanda bersama Munir. Salah satu contoh kejanggalan itu adalah Pollycarpus pernah menelepon Munir untuk menanyakan jadwal berangkat Munir ke Belanda.
Ada lagi kejanggalan soal bagaimana Pollycarpus memberikan kursi pesawat kelas bisnisnya kepada Munir yang beli tiket ekonomi. "Dari mengeksplorasi soal kejanggalan itu, hakim jadi yakin kemudian menjatuhi hukuman 20 tahun ke Pollycarpus," ujarnya.
Ditanya soal kejanggalan di kasus kematian Mirna Didik enggan menjelaskan. Dia hanya mengatakan bahwa kasus Mirna dan Munir memang mirip dan sangat susah membuktikannya. "Jaksa yang menangani kasus kopi sianida lebih tahu daripada saya," ujar Didik.
Sebelumnya, Wayan Mirna Salihin tewas setelah meminum es kopi Vietnam di kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu, 6 januari 2016.
Jessica sendiri sudah dituntut jaksa 20 tahun penjara dalam sidang yang digelar, Rabu, 5 Oktober 2016. Saat ini majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tengah mendengarkan pembelaan dari kuasa hukum Jessica.
EDWIN FAJERIAL