TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, mengatakan tuntutan pembentukan daerah otonom baru melonjak tajam pascareformasi. Padahal tren dunia masa kini justru sebaliknya, yakni penggabungan kota.
Ia mencontohkan, penggabungan kota-kota seperti di Amerika Serikat dan Australia. Pembentukan daerah otonom baru dianggap sebagai hal biasa. Namun menjadi persoalan apabila daerah yang mengajukan pemekaran belum punya kemampuan pemerintahan.
"Kalau ada kemampuan self-local government tak masalah. Sementara banyak yang tidak punya apa-apa, tapi mau jadi otonom akhirnya membebani anggaran pusat," kata Djohermansyah dalam diskusi Perspektif Indonesia di Gado-Gado Boplo, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Oktober 2016.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu mengatakan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Penataan Daerah dibuat untuk mengendalikan pemekaran daerah. "Agar tidak kebablasan," katanya.
Dewan Perwakilan Daerah merekomendasikan pembentukan sekitar 173 daerah otonom baru. Lembaga perwakilan wilayah di gedung Senayan ini beralasan pembentukan daerah otonom baru akan mempercepat pemerataan pembangunan daerah. Pembentukan daerah baru belum bisa dikabulkan lantaran kondisi perekonomian negara belum bagus.
Meski bukan persoalan besar, Djohermansyah menganggap perlu ada regulasi turunan UU 23/2014 tentang Penataan Daerah.
ARKHELAUS WISNU