TEMPO.CO, Bengkulu - Bekas Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba, mengakui menerima suap. Namun ia meminta agar dirinya diadili secara benar. "Saya akui terima suap, saya memang salah, tapi harus diadili dengan benar," kata dia seusai menjalani persidangan perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Kamis, 6 Oktober 2016.
Janner yang merupakan salah seorang yang diciduk dalam operasi tangkap tangan oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin, 23 Mei 2016. Seorang hakim di Pengadilan Negeri Kepahiang, Toton, juga ikut ditangkap.
Keduanya dtangkap karena diduga menerima uang suap atas perkara korupsi yang sedang ditanganinya. Penangkapan terjadi saat penyerahan uang dari mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Muhammad Yunus, Bengkulu, Syafri Syafii, kepada Janner sebesar Rp150 juta.
Tim penyidik KPK juga menangkap Syafri, mantan Wakil Kepala Bagian Keuangan RS Muhammad Yunus, Edi Santroni, dan Panitera Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, Badaruddin Amsori Bachsin. Syarif dan Edi diduga sebagai pemberi suap.
Janner menyatakan keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam kasus suap itu, Janner mengatakan dirinya bukan sebagai inisiator. Selain itu, tempus dan locus delicti yang didakwakan kepadanya tidak tepat. "Saya baru ditunjuk menjadi hakim KPK Oktober 2015. Sedangkan pada dakwaan kasus RSUD itu sudah digelar sejak September 2015," ujar Janner tampil tanpa didampingi pengacara.
Dalam persidangan hari ini, jaksa penuntut umum KPK yang hadir da;am persidangan itu adalah Roy Rohadi, Febi, dan Krisna. Adapun majelis hakim dipimpin Bambang Pramudwiyanto, yang didampingi dua hakim anggota, masing-masing Jonner Manik dan Rahmat.
Jaksa mendakwa Janner dan Toton melanggar pasal 11 juncto pasal 55 ayat (1) ke satu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 12 huruf c serta pasal 64 KUHP.
Dalam dakwaan jaksa diuraikan uang yang diberikan kepada Janner dan Toton berjumlah Rp780 juta. Uang itu diserahkan secara bertahap di empat lokasi. Penyerahan pertama, Rp30 juta, di depan Toko Enggano di Jalan RE Martadinata, Kelurahan Pagar Dewa. Selanjutnya Rp100 juta diserahkan di ruang perpustakaan Pengadilan Negeri Bengkulu.
Setelah uang diterima, Toton meminta Edi Santono dan Syafri Safii menyiapkan uang Rp1 miliar. Uang itu untuk suap agar Edi dan Syafri divonis bebas pada pembacaan putusan 23 Mei 2016. Namun Edi dan Syafri keberatan. Edi hanya sanggup memberikan Rp500 juta dan Syafri Rp150 juta.
Edi menyiapkan uang Rp500 juta di dalam tas warna hitam. Pada 16 Mei 2016, Edi ke Kepahiang untuk bertemu Janner. Namun perjalanannya terhambat. Mobil yang ditumpanginya terhadang longsor di Kabupaten Bengkulu Tengah. Edi pulang ke Kota Bengkulu.
Badaruddin Bachsin alias Billy memberikan pesan singkat kepada Janner. "Itu yang bawa kopi tidak bisa lewat gunung, terhadang longsor." Transaksi ditunda pada 18 Mei 2016. Uang tersebut diterima melalui Billy di depan Kantor Arsip Daerah di Jalan Mahoni, dekat Stadion Semarak, Kelurahan Sawah Lebar. Uang diserahkan kepada Toton. Billy mendapat jatah Rp 10 juta.
Syafri Syafii juga menyiapkan uang Rp 150 juta dan berangkat ke Kepahiang untuk menyerahkannya kepada Janner. Saat tiba di Kepahiang, Billy lalu memberikan pesan singkat kepada Janner. "Izin, Pak. Ada truk sawit menuju gunung. Izin, diarahkan ke mana."
Syafri bertemu Janner di Pengadilan Negeri Kepahiang. Keduanya keluar dan kembali bertemu di depan pintu gerbang pusat perkantoran Pemerintah Kabupaten Kepahiang. Uang diletakkan di atas jok mobil dinas Janner. Saat pulang ke rumah dinasnya, Janner dihadang kendaraan petugas KPK yang segera mengangkapnya. Petugas KPK menyita uang senilai Rp149, 9 juta.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu akan bersidang secara maraton. Kasus itu dibagi dalam tiga berkas perkara. Janner Purba dan Toton dalam satu berkas, satu berkas perkara atas nama Badarudin. Sedangkan satu berkas perkara lainnya atas nama Syafri dan Edi.
PHESI ESTER JULIKAWATI