TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada Sekretariat Negara menindaklanjuti laporan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan TVRI mendapat perhatian khusus lantaran dalam beberapa tahun terakhir Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini disclaimer. "Menteri Sekretaris Negara (diminta) segera membuat surat secara resmi kepada TVRI," ucap Pramono di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2016.
Ia menilai opini disclaimer yang diberikan BPK kepada TVRI bila tidak ditanggapi akan berbahaya. Pemerintah tidak ingin ada aset milik negara yang dijual. "Karena ada kemungkinan bukan hanya temuan dari proses manajerial, tapi jangan sampai asetnya juga dijual," kata Pramono.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, dalam empat tahun terakhir, TVRI mendapat empat kali opini disclaimer. Ia menyebutkan ada potensi kerugian negara sebesar Rp 400 miliar. "Presiden menanggapi serius dan akan menugaskan kementerian terkait," ujarnya. Jokowi, kata dia, berharap opini disclaimer bisa diperbaiki dalam laporan yang akan datang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menerima BPK di Istana Merdeka. Kehadiran BPK dalam rangka menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2016. Dalam IHPS I 2016 terdapat 696 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 116 laporan pada pemerintah pusat, 551 laporan pada pemerintah daerah, serta 29 laporan pada badan usaha milik negara dan badan lainnya.
Selain TVRI, ada tiga kementerian atau lembaga lain yang mendapat opini tidak memberikan pendapat (TMP) dari BPK. Mereka adalah Kementerian Sosial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Presiden dan BPK juga membicarakan cost recovery. Harry menyatakan BPK menemukan ada biaya-biaya yang semestinya tidak perlu dibayarkan dan mesti dikembalikan ke kas negara. Menurut dia, nilainya mencapai Rp 2,5 triliun.
Tak hanya itu, pada sektor bahan bakar minyak, yaitu solar, Pertamina memperoleh margin Rp 3,1 triliun. BPK, ucap Harry, meminta kepada Presiden apakah margin itu masuk dalam penambahan modal negara di Pertamina atau masuk ke kas negara. "Kami minta penetapan Presiden," tuturnya.
ADITYA BUDIMAN