TEMPO.CO, Banjarmasin - Warga suku Dayak, yang bermukim di Desa Pipitak Jaya, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, memprotes pembangunan megaproyek Bendungan Tapin, menyusul sengkarut penghitungan nilai ganti rugi aset ketika proses pembebasan lahan. Kuasa hukum warga, Andri Ariyanto, mengaku menemukan bukti sahih atas kesalahan antara fakta fisik dan peta pembebasan lahan.
“Fakta fisik sebagian ada lahan masuk pembebasan, tapi sebenarnya enggak masuk peta pembebasan,” ujar Andri kepada wartawan, Rabu, 5 Oktober 2016.
Pernyataan Andri ini merespons kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono ketika meninjau pembangunan Bendungan Tapin di Desa Pipitak Jaya pada Selasa, 4 Oktober 2016.
Menurut dia, kesalahan ini terjadi karena Badan Pertanahan Nasional serampangan ketika menerbitkan sertifikat tanah pada 2001. Selain itu, 200 keluarga pemilik sertifikat tak menerima jumlah ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang pernah diteken. Sebelumnya, kata Andri, Balai Wilayah Sungai Kalimantan II dan warga sudah bersepakat ihwal besaran ganti rugi dalam rentang Rp 50-100 ribu per meter persegi.
“Anehnya, BPN mengeluarkan sertifikat dengan luas sama semua, yaitu 1,5 hektare per keluarga. Ganti ruginya ada yang Rp 340 juta dan Rp 800 juta,” ujarnya.
Dia yakin BPN tidak akurat mengukur lahan ketika akan menerbitkan sertifikat. Andri mendesak ada evaluasi atas sertifikat yang dikeluarkan BPN tersebut.
Andri juga mengeluh pemerintah daerah belum menyiapkan area relokasi bagi warga tiga desa yang terkena dampak pembangunan Bendungan Tapin. Menurut Andri, sedikitnya warga tiga desa, yakni Pipitak Jaya, Mencabung, dan Harakit, mesti pindah dari lahannya akibat tergusur proyek Bendungan Tapin.
“Total lahannya, kan, 600 hektare. Sampai sekarang belum ada solusi relokasi ke mana, ini bisa menghilangkan adat budaya masyarakat Dayak,” katanya. Menurut dia, warga ketiga desa itu mayoritas keturunan suku Dayak Meratus.
Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan sengkarut pembebasan lahan segera beres setelah ada kesepakatan pemindahan sembilan makam leluhur di Desa Pipitak Jaya.
“Minimal awal 2019 sudah selesai. Bisa menghasilkan listrik 3,3 MW. Ini kapasitas terbesar kedua setelah waduk Riam Kanan, yang menampung 100 juta meter kubik,” kata Basuki.
DIANANTA P. SUMEDI