TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menyarankan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dihentikan. Menurut dia, RUU Terorisme ini seharusnya dibahas setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"KUHP juga membahas tindak pidana terorisme. Jangan ada overlap pembahasan," kata Araf di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Senin, 3 Oktober 2016.
Ia menyarankan agar RUU itu dikembalikan ke pemerintah terlebih dulu untuk menyinkronkan RUU Terorisme dan revisi KUHP. Jika tidak, hal ini akan memicu konflik. “Satu mengatur ini, satu mengatur itu, padahal sama-sama terorisme. Pembahasan sebaiknya dihentikan."
Selain itu, menurut Araf, pembahasan tindak pidana terorisme harus menunggu induk hukum pidana selesai. Menurut dia, penanganan terorisme harus diletakkan dalam ranah penegakan hukum dengan sistem peradilan pidana. "Jangan sampai pandangan keduanya berbeda soal terorisme."
Sebelumnya, Araf menyarankan agar pemerintah menyusun draf Undang-Undang tentang Perbantuan Tentara Nasional Indonesia ketimbang memaksa memasukkan pelibatan TNI ke Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Sebab, pelibatan TNI sudah tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 7 ayat 2 dan 3.
ARKHELAUS WISHNU