TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia belum satu sikap dalam memutuskan nasib ketuanya, Irman Gusman, yang telah ditetapkan tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, anggota DPD belum satu suara dalam menafsirkan isi tata tertib (tatib). "DPD belum punya basis kuat dalam hal tata aturan, masih bingung tatib mana yang digunakan (atas kasus Irman Gusman)," ujar Refly dalam diskusi Populi Center di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 1 Oktober 2016.
Refly menuturkan DPD masih terpecah antara yang setuju Irman diberhentikan dan hanya non-aktif. Keputusan memberhentikan Irman adalah hasil rapat pleno Badan Kehormatan (BK) DPD pada 19 September 2016.
Sehari kemudian hasil pleno yang dibacakan Ketua BK A.M. Fatwa itu dipaparkan dalam sidang paripurna DPD. Pemberhentian Irman disebut mengacu pada Pasal 52 ayat 3 huruf c Tata Tertib DPD. Di situ dinyatakan bahwa pimpinan DPD dapat diberhentikan karena berstatus tersangka dalam perkara pidana.
Pengambilan keputusan pemberhentian Irman juga diambil dari Pasal 119 ayat 4 Tata Tertib tersebut. Menurut pasal itu, jika indikasi pelanggaran yang berlanjut penyelidikan pada pimpinan DPD, BK bisa menyampaikan keputusan tentang penonaktifan.
"Dari tatib yang saya baca, harusnya diberhentikan, tapi itu ada pasal rehabilitasi. Namun yang terjadi kan (Irman) terkena operasi tangkap tangan (OTT) dan bukan indikasi," ujar Refly.
Menurutnya DPD perlu menyamakan perspektif internal sebelum membicarakan pergantian ketuanya. Anggota DPD Muhammad Asri Anas yang hadir dalam diskusi yang sama membenarkan internal DPD masih silang pendapat. "Sulitnya di konsolidasi pengambilan keputusan. Kami ada 132 orang, dengan 132 usulan," ujar Asri.
Dia mengatakan pengambilan keputusan menyeluruh atas nasib Irman harusnya pada paripurna. Sebab keputusan BK dinilai belum final dan tidak mengikat.
Setelah Irman ditangkap KPK, internal DPD membentuk tim pengkaji khusus yang dinamakan tim 10. Sejumlah pihak menilai pembentukan tim 10 ini tak memiliki dasar hukum yang memenuhi asas legalitas.
Ketua BK DPD A.M. Fatwa adalah salah satu yang menentang pembentukan tim 10. Dia menyebut kasus Irman seharusnya diserahkan sepenuhnya pada KPK. Fatwa tak setuju tim ini untuk menghindari kesan publik bahwa lembaganya melindungi satu anggota yang terjerat korupsi.
"Ini inisiatif dari pimpinan DPD, untuk kepentingan yang tidak jelas dan tidak jelas legal standingnya," kata Fatwa saat dihubungi pada 29 September 2016.
YOHANES PASKALIS