INFO NASIONAL - Persoalan sumber daya manusia (SDM) menjadi sangat penting dibicarakan, khususnya di sektor industri. Apalagi berdasarkan daftar Human Development Index (HDI) 2015 yang dikeluarkan PBB, Indonesia berada di posisi ke-110 atau masuk kategori Medium Human Development dari 187 negara dan kawasan yang dikenal PBB.
Hal ini mendorong PT Tempo Inti Media mengadakan Ngobrol @Tempo yang membawa tema “Menemukan Model Pengembangan SDM Industri di Indonesia”, yang bertujuan membangun kesamaan persepsi pembangunan SDM di sektor industri.
Baca Juga:
Dalam sambutan yang dibacakan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Sugiarto Sumas, mewakili Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri, mengatakan meski dari sisi persentase, jumlah tenaga kerja di sektor industri ini hanya 13 persen, tapi persentase tenaga formalnya terbanyak dari sektor lain. “Artinya, perlu kerja sama yang erat antara pemberi kerja dan pemerintah untuk meningkatkan SDM di sektor ini,” ujarnya.
Hanif mengatakan penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa SDM merupakan hambatan utama dalam pengembangan sektor manufaktur di Indonesia yang memiliki prospek cerah. Bank Dunia menyebutkan, 88 persen pengusaha manufaktur mengalami kesulitan mengisi jabatan manajemen, dan 69 persen melaporkan bermasalah menemukan sumber tenaga kerja terampil.
Untuk mengatasi hal itu, menurut Hanif, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan. Pertama, mengembangkan public private partnership untuk meningkatkan kualitas SDM. “Ini sangat berpotensi dikembangkan di sektor industri karena memiliki pekerja sektor formal tertinggi dibanding sektor lain,” tuturnya. Kedua, perlu koordinasi pengembangan SDM. Ketiga, penguatan lembaga pendidikan dan pelatihan, khususnya yang terampil.
Baca Juga:
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Chairul Anwar, yang menjadi salah satu narasumber dalam acara ini, menambahkan, model pengembangan SDM harus berorientasi pada demand driven atau berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Untuk mencetak SDM seperti itu, menurut dia, pelatihan harus berbasis kompetensi. Artinya, harus mengacu pada standar kompetensi yang sudah ditetapkan industri. Selain itu, pelatihan itu harus terhubung dengan industri, dan ada on-the-job training di industrinya, sehingga keterampilan yang didapat sesuai dengan apa yang dikehendaki industri. “Jadi penetapan programnya harus berdasarkan dari demand,” katanya.
Lembaga pelatihan yang dipilih juga harus betul-betul terakreditasi dan kredibel dalam menjalankan program yang ditentukan. Untuk memastikan output-nya betul-betul sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, juga harus dilakukan uji kompetensi oleh lembaga sertifikasi profesi yang didirikan dan dikelola asosiasi profesi.
Untuk menjawab itu semua, Kementerian Ketenagakerjaan mendorong adanya satu lembaga koordinasi dalam konteks pendidikan dan pelatihan vokasi ini, supaya semua terintegrasi. Ini bertujuan agar setiap sektor industri memiliki peta bagaimana mengembangkan SDM-nya berdasarkan skala prioritas. Misalnya, tren untuk lima hingga enam tahun ke depan itu seperti apa. “Jadi harus dilakukan harmonisasi dari semua sistem pelatihan dan pendidikan yang ada di tiap-tiap industri. Untuk itu, perlu komitmen dari semua sektor dalam melakukannya," ujarnya.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono, yang menjadi salah satu panelis di acara ini, mengutarakan, pengembangan kompetensi adalah hal paling penting dilakukan. Setelah itu, melibatkan semua stakeholder, termasuk akademikus, industri, dan pemerintah, untuk memetakan skala prioritas dari sektor industri.
Karena itu, untuk membuat satu rencana yang nyata, ia mengusulkan dibentuknya task force team atau tim perumus, yang akan mengusulkan ke pemerintah kompetensi di industri itu seperti apa, bagaimana cara mengevaluasinya, serta insentifnya seperti apa. “Sebab, standar kompetensi itu harus dilihat penggunanya. Jadi harus ada gather resource. Kalau tidak, semua akan stuck seperti sekarang ini,” katanya. (*)