TEMPO.CO, Jakarta - Ingin cepat naik haji dan tidak mau menunggu bertahun-tahun menjadi motif 176 orang Indonesia yang berangkat haji menggunakan paspor palsu negara Filpina.
“Karena kuota di Indonesia, jamaah harus menunggu sampai puluhan tahun mereka terpikat ajakan agen perjalanan haji," kata Ajun Komisaris Besar Dwi Kornansiwati dalam Dialog Polri dengan tema “Jalan Berduri Menuju Tanah Suci” di Jakarta Selatan, pada Kamis, 22 September 2016.
Dalam kasus ini, polisi menetapkan 9 tersangka, dimana 8 orang adalah warga Indonesia, dan satu lagi warga Filipina yang mengurus paspor palsu 176 orang.
Dwi Kornansiwati yang menjabat Kepala Unit 3 Subdirektorat Kejahatan Antarwilayah Direktorat Tindak Pidana, Badan Reserse Kriminal Polri berangkat ke Manila untuk mengusut kasus ini.
Dwi menjelaskan kronologi kasus penipuan terhadap haji ini. Calon jamaah haji, kata dia, melakukan pendaftaran dan pembayaran haji ke agen travel haji sekitar Desember 2015 hingga Mei 2016.
Pada akhir Mei 2016 mereka berangkat ke Manila untuk mengurus paspor haji Filipina. "Namun mereka tidak tahu kalau yang diurus adalah paspor,” kata Dwi.
Dua bulan kemudian calon jamaah haji berangkat ke Manila untuk kedua kalinya. Kali ini, mereka berangkat haji dari Bandara Manila pada 15-18 Agustus. Saat melewati petugas keamanan pada dinihari 19 Agustus 2016, seorang calon jamaah ditanya dengan bahasa lokal di sana.
Namun warga Indonesia ini tak mampu menjawab dan mengaku bukan warga Filipina. Imigrasi Filipina mendeteksi ada 176 orang lainnya. “Mereka lalu diamankan di salah satu penjara di Filipina,” ujar Dwi.
Setelah kasus ini tercuat, polisi pun berinisiatif membuat laporan sendiri di Bareskrim. Laporan polisi itu dibuat pertama kali pada 22 Agustus. Tim penyidik Bareskrim lalu berangkat ke Filipina pada 25-30 Agustus.
Lantas, pada 2 September, Bareskrim kembali membuat laporan polisi. Kali ini 6 laporan karena mereka menemukan fakta ada beberapa tempat dan waktu kejadian adanya tindak pidana.
Dwi bercerita, 177 korban ini awalnya ditempatkan di tahanan sipil. Pada 26 Agustus baru mereka direlokasi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia. “Kondisi mereka berbeda ketika berada di penjara dan KBRI,” ujarnya.
Penyidik di sana memeriksa sekitar 30 saksi. Berangkat dari pemeriksaan korban, penyidik memerika 28 saksi terkait agen travel. 9 calon jamaah haji belum boleh pulang karena masih diperiksa untuk penyidikan terhadap agen Filipina.
Dwi menjelaskan para tersangka diduga menipu calon jamaah haji dengan menggunakan kuota haji Filipina pada musim haji 2016. Para tersangka dijerat dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penipuan serta Pasal 63 atau 64 Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Mereka juga diduga melanggar Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. “Hambatan kami dalam penyidikan ini, Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji tidak mengatur tentang ketentuan pidana bagi penyelenggara ibadah haji yang diselenggarakan dengan menggunakan kuota negara lain,” ucap Dwi.
Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Jakarta, Yudanus Dekiwanto, mengatakan sampai saat pihak Imigrasi belum menemukan pelanggaran keimigrasian di kasus ini.
Sebab, dokumen yang mereka gunakan di Indonesia sah. Mereka hanya memalsukan paspor Filipina. “Dokumen sudah sah, berangkatnya juga sah (ke Filipina). Kejadiannya justru di luar negeri,” katanya.
REZKI ALVIONITASARI