TEMPO.CO, Kediri – Berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili buruh migran tak membuat keluarga Eni Lestari Andayani Adi di Kediri tinggi hati. Bahkan di kampungnya, Eni masih dianggap sebagai pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri.
Eni Lestari Andayani Adi adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di Hong Kong dan aktif dalam berbagai organisasi buruh migran. Kini Eni memimpin International Migrant’s Aliance (IMA), sebuah aliansi formal buruh migran yang lahir di Hong Kong pada 2008. Organisasi ini beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 19 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Berkat aktivitasnya di IMA, Eni diundang berpidato dalam sesi pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Migran dan Pengungsi (High Level Summit on Migrant’s and Refugees) ke-71 di New York, Amerika Serikat, 19 September 2016. Dalam forum tersebut Eni bicara soal kondisi buruh migran di dunia.
Tidak ada yang istimewa dari keluarga maupun rumah orang tua Eni Lestari di Dusun Bibis, Desa Bangsongan, Kecamatan Minggiran, Kabupaten Kediri. Seperti layaknya rumah di perdesaan, kehidupan keluarga aktivis buruh migran ini sangat sederhana. Tak ada barang mewah yang tampak dalam rumah yang dihuni adik bersama istrinya itu.
“Rumah ini dibangun saat Eni sekolah dasar oleh orang tuanya,” kata Muinah, nenek Eni, saat ditemui di rumah orang tua Eni, Selasa, 20 September 2016.
Baca juga:
Siapa Eni Lestari, TKW yang Akan Pidato di Konferensi PBB?
Ini Persiapan Eni Lestari, TKW Asal Kediri Pidato di PBB
Sebelum membangun rumah itu, orang tua Eni yakni Adi Pramono dan Sumasri tinggal di rumah Muinah. Seiring lahirnya dua adik Eni, masing-masing Tutut Sugiarto dan Dian Estiningtyas, Adi Pramono membangun rumah sederhana tersebut. Berlantai semen yang telah menghitam dengan perabot lawas, rumah yang dihuni Eni sejak kecil itu tak pernah direnovasi hingga kini.
Muinah menuturkan, Eni lahir dan besar dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Ayahnya sempat berganti-ganti profesi mulai dari guru, karyawan pabrik pupuk, hingga terakhir berjualan kebutuhan pokok di Pasar Minggiran. Dibantu ibunya, Sumasri, pasangan itu juga menjual kopi bagi pengunjung pasar yang ingin melepas penat.
<--more--!>
Krisis moneter yang menghantam perekonomian dalam negeri pada 1998 memaksa Eni menghentikan pendidikan hingga bangku SLTA di SMA Negeri Minggiran. Hingga selanjutnya gadis yang dikenal pendiam di kampungnya ini pamit kepada Muinah untuk melanjutkan kuliah di Bali. “Ternyata bekerja ke Hong Kong,” kata nenek berkacamata tebal ini.
Setali tiga uang dengan Eni, kedua adiknya juga tak mengenyam pendidikan tinggi. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang tergerak mengikuti jejak Eni untuk bekerja menjadi buruh migran di luar negeri. Apalagi Adi Pramono, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, telah meninggal. Sedangkan Sumasri tinggal di Bali menemani anak bungsunya yang menetap di sana.
Kepergian Eni ke luar negeri ini hanya diketahui Muinah dari Sumasri, anaknya yang juga ibu Eni Lestari. Ini lantaran sikap Eni yang tak pernah menceritakan aktivitasnya selama di luar negeri, termasuk saat menjadi aktivis buruh migran. Belakangan Muinah justru mendengar kabar jika cucu perempuannya yang hingga kini betah melajang itu dikenal hingga ke luar negeri.
“Jadi orang-orang di sini tahunya Eni jadi pembantu di luar negeri,” katanya.
Baca juga:
Sumringah, Ahok: Semoga Kita Bertemu di Lenteng Agung
Raih 4,5 Juta Penonton, Film Warkop Salip Habibie & Ainun
Hal senada disampaikan adik iparnya yang menempati rumah orang tua Eni di Dusun Bibis, Ridoah. Ibu satu anak ini mengakui kakak iparnya tak pernah menceritakan aktivitasnya dengan terbuka, baik kepada keluarga maupun orang lain. Padahal Eni bisa dibilang sering pulang ke Kediri untuk menengok kondisi adik dan neneknya. “Mbak Eni hanya cerita sering ke luar negeri untuk membantu sesama TKW yang bermasalah,” tuturnya.
Meski kerap diliputi kekhawatiran atas risiko pekerjaan yang dihadapi kakak iparnya, Ridoah, tak bisa memaksanya berhenti. Dia hanya berharap kakaknya bisa segera menikah dan menjauhi pekerjaan yang dianggap berbahaya. Apalagi usianya sudah tak muda lagi dan waktunya berkeluarga bagi masyarakat Dusun Bibis.
Harapan yang sama disampaikan Muinah, yang berharap bisa menimang buyut. Selama ini Muinah selalu memanjatkan surat Al-Fatihah untuk keselamatan cucunya yang berjuang menyelamatkan TKI teraniaya.
HARI TRI WASONO